MAKALAH
sosioantropologi PENDIDIKAN
Guru
dalam perspektif sosiologis
Oleh
Kelompok IX
Nama :
Aplondina De Fatima Elo (1501160017)
Maria Goreti Tai (1501160028)
Siti Saida Pella (1501160021)
Semester : II
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN KONSELING
JURUSAN
ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NUSA CENDANA
kupang
2016/2017
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis
panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Guru
dalam Perspektif Sosiologis ” yang dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Sosioantropologi Pendidikan tahun ajaran 2016/2017.
Penulis juga ingin mengucapkan
terimakasih bagi seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan
Makalah ini dan berbagai sumber yang telah penulis pakai sebagai data dan fakta
pada Makalah ini.
Penulis menyadari bahwa Makalah ini
masih jauh dari kata sempurna,oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Kupang,27 February 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
D. Manfaat
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Pemaknaan tentang Guru
B. Peranan
dan Kedudukan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam setiap studi ilmu kependidikan
persoalan yang berkenaan dengan guru dan jabatan guru, seringkali disinggung
bahkan menjadi salah satu pokok bahasan yang mendapat tempat tersendiri.
Guru memegang
kedudukan dan peranan yang strategis terutama dalam upaya membentuk watak
bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Dari
dimensi tersebut kedudukan dan peranan guru sulit digantikan oleh orang lain.
Dipandang dari dimensi pembelajaran peranan guru dalam masyarakat Indonesia
tetap dominan, sekalipun teknologi yang dapat di manfaatkan dalam proses
pembelajaran tersebut. Maka dari itu, sejalan dengan hakikat dan makna yang
terkandung dalam topik tersebut, masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah Guru dalam
Prespektif Sosiologis.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dan pemaknaan tentang guru ?
2. Apa
makna dari peranan dan kedudukan ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian dan pemaknaan tentang guru.
2. Untuk
mengetahui makna dari peranan dan kedudukan.
D. Manfaat
Penulisan
1. Mahasiswa
dapat mengetahui pengertian dan pemaknaan tentang guru.
2. Mahasiswa
dapat mengetahui makna dari peranan dan kedudukan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Pemaknaan tentang Guru
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 337), guru adalah menusia yang
tugasnya (profesinya) mengajar, sedangkan menurut Vembrianto (1994: 21) dalam
buku Kamus Pendidikan, guru adalah
pendidik professional di sekolah dengan tugas utama mengajar.
Secara keprofesian formal, guru
adalah sebuah jabatan akademik yang memiliki tugas sebagai pendidik. Pendidik
merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
(Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Bab XI Pasal 39 ayat 2). Guru
sebagai seorang tenaga kependidikan yang professional berbeda pekerjaannya
dengan yang lain karena ia merupakan suatu profesi, dibutuhkan kemampuan dan
keahlian khusus dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (Rusyan, 1990 :5).
Istilah lain yang masih berkenaan
dengan guru dan berkembang di masyarakat adalah pendidik. Karena makna pendidik
adalah usaha untuk membimbing, mengarahkan, mentransfer ilmu yang dapat
dilakukan secara umum. Akan tetapi, istilah pendidik terdapat pada lembaga
formal, seperti sekolah, madrasah, dan dosen dalam perguruan tinggi. Istilah
ini menjadi focus dari berbagai kalangan dalam duni pendidikan, karena pendidik
menggunakan istilah yang sangat luas dan konfrehensif, sehingga lebih
mengeneralisasikan makna pendidik dalam konteks luas
Secara umum, menurut Ahmad D. Marimba, pendidik
diartikan sebagai orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik, yaitu
manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang
pendidikan si terdidik (peserta didik) (Ahmad D. Marimba, 1980 :37).
Dalam konteks psikologi, pendidik
(guru) menurut Wasty Soemanto (1998 :
237) adalah makhluk biasa. Pandangan pakar psikologi bahwa pendidik sejati
bukanlah makhluk yang berbeda-beda dengan peserta didiknya. Ia bukan makhluk
serba cermat dan pintar sehingga pendapat pendidiklah yang serba benar dan
menganggap peserta didik dibawahnya secara keseluruhan.
Secara konstitusional, Pasal 1 UU
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa
pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya dan berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan. Dalam Pasal 29 ayat 2 UU yang sama dijelaskan pula
bahwa guru juga disebut dengan istilah pendidik, dengan makna bahwa pendidik
merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama
bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Ada beberapa pendapat para ahli
tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para guru, antara lain sebagai
berikut:
1) Menurut
Purwanto (1998: 140-148), syarat-syarat guru adalah: berijazah, sehat jasmani
dan rohani, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkelakuan baik, bertanggung
jawab, berjiwa nasional, adil, percaya dan suka kepada murid-muridnya, sabar
dan rela berkorban, memiliki kewibawan terhadap anak-anak, penggenbira,
bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, bersikap baik terhadap masyarakat,
benar-benar menguasi mata pelajarannya, suka pada mata pelajaran yang
diberikannya, dan berpengetahuan luas.
2) Menurut
An-Nahlawi (1989 :239-246), sifat-sifat guru adalah: hendaknya tujuan, tingkah
laku, dan pola pikir guru bersifat rabbani, ikhlas, bersabar, jujur, membekali
diri dengan ilmu, mampu menggunakan metode mengajar, mampu mengelola siswa,
mempelajari kehidupan psikis para sisiwa, tanggap terhadap berbagai persoalan,
dan bersikap adil.
3) Dalam
pandangan Al-Abrasyi (1988 : 20-25), sifat-sifat guru yang islami itu, antara
lain: zuhud, bersih tubuhnya, bersih jiwanya, tidak ria, tidak pendendam, tidak
menyenangi permusuhan, tidak malu mengakui ketidak tahuan, tegas dalam
perkataan dan perbuatan, bijaksana, ikhlas, rendah hati, lemah lembut, pemaaf,
sabar, berkepribadian, tidak merasa rendah diri, bersifat kebapaan/keibuan,
mengetahui karakter murid.
4) Menurut
Mahmud Yunus, seperti yang dikutip Tafsir (1992: 82), sifat-sifat guru antara
lain: kasih saying kepada murid, bijak dalam memilih bahan pelajaran, senang
melarang murid melakukan hal yang tidak baik, senang memberikan peringatan,
senang memberikan nasihat, hormat pada pelajaran lain yang bukan pegangannya,
bijak dalam memilih bahan pelajaran yang sesuai dengan taraf kecerdasan anak
didik, mementingkan berpikir dan berijtihad, jujur dalam keilmuan, dan adil.
Berdasarkan sifat-sifat yang telah
diungkapkan oleh para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat guru
itu pada dasarnya berkaitan dengan sifat kognitif, afektif, dan psikomotornya.
Dalam kajian pendidikan, selain pembahasan
mengenai sifat, terdapat juga pembahasan mengenai kompetensi. Lebih jauh, Raka
Joni, sabagaimana dikutip oleh Suyanto dan Hisyam (2000), mengemukakan tiga
jenis kompetensi guru, yaitu:
1) Kompetensi
professional, yang memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang
diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar didalam proses
belajar mengajar yang diselenggarakannya;
2) Kompetensi
kemasyarakatan, yaitu mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru,
maupun masyarakat luas;
3)
Kompetensi personal, yaitu memiliki
kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru
akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran ing ngarsa sung tulada(jika di depan menjadi contoh), ing madya mangun
karsa (jika di tengah-tengah membangkitkan kehendak, hasrat atau motiv/asi),dan tut wuri handayani (jika di belakang
mengikuti dengan awas).
Dalam
perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah merumuskan empat jenis
kompetensi guru, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah
No. 14 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1) Kompetensi
pedagogic, yang dimaksud dengan kompotensi pedagogic adalah kemampuan dalam
pengelolaan peserta didik yang meliputi:
a) Pemahaman
wawasan atau landasan kependidikan;
b) Pemahaman
terhadap peserta didik;
c) Pengembangan
kurikulum / silabus
d) Perancangan
pembelajaran;
e) Pelaksanan
pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f) Evaluasi
hasil belajar; dan
g) Pengembangan
peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2) Kompetensi
kepribadian. Yang dimaksudkan dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan
kpribadian yang:
a) Mantap;
b) Stabil;
c) Dewas;
d) Arif
dan bijaksana;
e) Berwibawa;
f) Berakhlak
mulia;
g) Menjadi
teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
h) Mengevaluasi
kinerja sendiri; dan
i)
Mengembangkan diri secara berkelanjutan.
3) Kompetensi
sosial. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik
sebagai bagian dari masyarakat untuk:
a) Berkomunikasi
lisan dan tulisan;
b) Menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;
c) Bergaul
secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik; dan
d) Bergaul
secara santun dengan masyarakat sekitar.
4) Kompetensi
professional. Yang dimaksud dengan kompetensi professional adalah kemampuan
penguasaan materi pembelajaran secara meluas dan mendalam yang meliputi:
a) Konsep,
struktur, dan metode keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheran/dengan
materi ajar;
b) Materi
ajar yang ada dalam kurikulum sekolah;
c) Hubungan
konsep antara mata pelajaran terkait;
d) Penerapan
konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan
e) Kompetisi
secara professional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan
budaya nasional.
Dalam
ilmu sosiologi ditemukan dua istilah yang akan selalu berkaitan, yakni status
(kedudukan) dan peran sosial didaalm masyarakat. Satus biasanya didefinisikan
sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok atau posisi
suatu kelompok dalam hubungannya denhan kelompok lain. Adpun peran merupakan
sebuah perilaku yang diharapakn dari seseorang yang memiliki suatu status
tertentu tersubut.
Status
sebagai guru dapat dipandang tinggi atau rendah, bergantung pada tempat ia
berada, sedangkan peranannya yang berkededukan sebagai pendidik seharusnya
menunjukan kelakuan yang layak sesuai harapan masyarakat, dan guru diharapakan
berperan sebagai teladan dan rujukan dalam masyarakat dan khususnya anak didik
yang dia ajar.
Secara
umum, peranan guru dalam dunia pendidikan dapat dikelompokan kedalam empat
peranan. Pertama, peranan dalam proses belajar mengajar; pendidik sebagai
demonstratos, pengelola kelas, mediator dan fasilitator dan evaluator. Kedua,
peranan dalam pengadministrasian. Ketiga, peranan secara pribadi. Keempat, peranan
secara psikologis.
Daoed
Yoesuf (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu
tugas professional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission).
Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, tugas pertama berkaitan dengan
logika dan estetika, sedangkan tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas
professional dari seorang guru, yaitu meneruskan atau mentransmisi pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan
seharusnya diketahui oleh anak.
Guru
juga memiliki tugas manusiawi. Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak
didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manisia kelak dengan
sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusia itu adalah transformasi diri, identifikasi
diri sendiri, dan pengertian tentang diri sendiri.
Tugas
kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga Negara yang baik, turut
mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh Bangsa dan Negara
melalui UUD 1944 dan GBHN.
Ketiga
tugas guru harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis
harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar didalam kelas saja,
tetapi harus mampu menjadi katalisator, motivator, dan dinamisator pembangunan.
WF
Connell (1972)membedakan beberapa peran guru, yaitu:
1) Peran
guru sebagai pendidik (nurturer) berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan
dan dorongan (supporter), serta tugas-tugas yang berkaitan dengan
mendisiplinkananak agar anak didik menjadi patuh terhadap aturan sekolah dan
norma hidup dalam keluarga dan masyarakat.
2) Peran
guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapakan guru mereka
dapat menjadi contoh atau model baginya.
3) Peran
guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru
harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain diluar fungsi
sekolah, seperti hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual
dan memilih pekerjaan di masyarakat dan hasil belajar yang berkaitan dengan
tanggung jawab sosial tingkah laku sosial anak.
4) Peran
guru sebagai pelajar (leaner). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah
pengetahuan dan keterampilan agar pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya
tidak tertinggal zaman.
5) Peran
guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapakan dapat
berpern aktif dalam pembangunan disegala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat
mengembangkan kemampuannya pad bidang-bidang dikuasainya
6) Guru
sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar,
tetapi juga sebagai administataor pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh
karena itu, seorang guru dituntut bekerja secara
7) Peran
guru daam proses belajar mengajar sebagai demonstrator di maknai sebagai
penguasaan materi pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik dengan
selalu menambah pengetahuan,karena pendidik mesti juga berperan sebagai peserta
didik dalam konteks menambah ilmu.
8) Guru
sebagai pengelola kelas (learning manager) dimaksudkan bahwa ia harus mampu
mengelola kelas sebagai lingkungan belajar (learning empowyer) dengan aspek
pengelolaan yang terorganisasi sehingga suasana belajar mengajar menjadi
menyenangkan.
9) Guru
sebagai mediator dan fasilitator
dimaksudkan bahwa pendidik harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang
banyak tentang media pendidikan, karena dengan mempergunakan media yang baik
akan lebih merangsang peserta didik untuk melakukan proses pembelajaran.
10) Peran
guru dalam pengadministrasian, menurut Usman, guru berperan sebagai pengambil
inisiatif wakil masyarakat orang yang ahli dalam mata pelajaran, penegak
disiplin, pelaksana administrasi pendidikan, pemimpi generasi muda, dan
penerjemah kepada masyarakat.
Menurut Djamarah, peranan
pendidik (guru), adalah :
1) Sebagai
korektor,yaitu dapat membedakan mana nilai baik dan buruk dalam melaksanakaan
pendidikan.
2) Sebagai
inspirator,yaitu memberikan ilham yang baik bagi kemajuan belajar peserta
didik.
3) Sebagai
informatory, yaitu dapat meberikan informasi perkembangan pengetahuan dan teknologi.
4) Sebagai
organisator yaitu mampu mengelola kegiatan pembelajaran.
5) Sebagai
motivator, yaitu mendorong peserta didiknya agar bergairah dan aktif dalam proses pembelajarannya.
6) Sebagai
inisiator, yaitu menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran.
7) Sebagai
fasilitator, yaitu menyediakan fasilitas untuk memudahkan proses pembelajaran.
8) Sebagai
pembimbing yaitu melakukan bimbingannya kepada peserta didiknya agar berkembang ke arah yang positif
9) Sebagai
demonstrator, yaitu memberikan pemahaman materi pelajaran kepada peserta didik dengan baik.
10) Sebagai pengelola
kelas yaiu mengelola kelas dengan dinamis sehingga kelas lebih
menyenangkan.
11) Sebagai
mediator,yaitu mengetahui pemanfaatan media pendidikan secara benar dan tepat.
12) Sebagai
supervisor, yaitu membantu,memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap
proses pembelajaran.
13) Sebagai
evaluator, yaitu menjadi seorang evaluator yang baik dan juur dengan memberikan
penilaian yang menyentu ke semua aspek ekstrinsik dan intrinsic
Dari uraia diatas,dapat dipahami bahwa
peranan pendidik pada prinsipnya, baik oleh Usman maupun Djamarah, sama-sama
menekankan pada upaya untuk memperlancar proses pendidikan walaupun dalam
jumlah option Djamara lebih lengkap di bandingkan dengan Usman, tetapi tidak
mengurangi peranan dari pendidik tersebut.
Peran guru dalam dunia modern seperti
sekarang ini semakin meningkat dari sekedar pengajar menjadi direktur belajar.
Perluasan tugas dan
tanggung jawab guru membawa konsekuensi timbulnya fungsi-fungsi khusu yang
menjadi bagian integral ( menyatu) dalam kompetensi profesionalisme keguruan
yang disandang oleh para guru.
Menurut Gagne, setiap guru berfungsi sebagai:
1) Guru
sebagai designer of instruction
Fungsi guru sebagai designer of instruction
(perancang pengajaran) menghendaki guru untuk senantiasa mampu dan siap merancang
kegiatan belajar mengajar yang berhasil guna dan berdaya guna.
Untuk merealisasikan fungsi tersebut,setiap
guru memerlukan pengetahuan yang memadai mengenai prinsip-prinsip belajar
sebagai dasar dalammenyusun rancangan kegiatan belajar mengajar.rancangan
tersebut sekurang-kurangnya meliputi:
a)
Memilih dan menentukan bahan
pebelajaran;
b)
Merumuskan tujuan penyajian bahan
pembelajaran;
c)
Memilih metode penyajian dalam
pembelajaran yang tepat
d)
Menyelenggarakan kegiatan evaluasi
belajar.
2) Guru
sebagai manager of instruction
Fungsi guru ini menghendaki kemampuan guru
dalam mengelola (menyelenggarakan dan mengendalikan) seluruh tahapan proses
belajar mengajar.
3) Guru
sebagai evaluator of student learning
Fungsi ini menghendaki guru untuk senantiasa
mengikuti perkembangan taraf kemajuan prestasi belajar atau kinerja akademik
siswa dalam setiap kurun waktu pembelajaran
Pada dasarnya evaluasi prestasi belajar itu
seperti kegiatan belajar iu sendiri,yakni kegiatan akademik yang memerlukan
kesinambungan.Evaluasi, idealnya berlangsung sepanjang waktu dalam fase
kegiatan belajar selanjutnya.artinya, apabila hasil evaluasi tertenu menunjukan
kekurangan, siswa yang bersangkutan diharapkan merasa terdorong untuk melakukan
kegiatan pembelajaran perbaikan (learning).sebaliknya, apabila evaluasi tertenu
menunjukan hasil yang memuaskan,siswa diharapkan termotifasi untuk meningkatkan
volume kegiatan belajarnya agar materi pelajaran lain ang lebih kompleks dapat
pula dikuasai.
4) Guru
sebagai kedudukan terhormat
Teori tentang guru sebagai profesi mulia
dikembangkan oleh penulis muslim klasik,seperti Al-Gazali dan Ibn
Miskawaih.mereka mengembangkan sebuah pandangan bahwa profesi guru memmiliki
dimensi teologi dan memiliki keistimewaan spiritual.menurut mereka,guru
merupakan profesi samawi (langit),yang dating sebagai anugerah (Mauhibah)dari
Tuhan kepada orang0-orang yang dikehendakinnya (Jasjis,1998:267).
Ungkapan terkenal dari Al-Gazali mengenai
guru adalah teori yang oleh Sabrih Jasjis disebut dengan istilah teori timbale
balik.Ungkapan tersebut adalah,”perbuatan menghasilkan penghormatan dan
penghomatan dan penghormatan menghasilkan perbuatan” (Jasjis 1998: 267).
Ungkapan Al-Gazalitersebut mengaitkan atara penghargaan yang diterima oleh guru
dari masyarakat dan akibat yang ditimbulkan.faktanay,pada masa Al-Gazali, guru
mendapatkan penghormatan yang luar biasa.Mereka disetarakan dengan para
pemegang tahta kesucian,seperti para nabi dan wali.Penghargaan tersebut
mendorong para guru berbuat yang terbaik untuk masyarakatnya, terutama dalam
hal teladan moral.
5) Guru
sebagai profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang
didasarkan atas studi atau pendidikan khusus, yang tujuannya memberikan
pelayanan kepada orang lain dengan imbalan atau gaji yang ditentukan.
Profesi lebih bersifat pemberian layanan pada
orang lain.Artinya, profesi lebih merupakan sebagai pengabdian pada kepentingan
klien
Teori profesi yang
dikemukakan oleh Greenwood dan Millerson
lebih dikenal dengan sebutan atribut.Guru adalah sebuah profesi.Kedudukan guru
sebagai profesi bukan karena cetakan sosial,tetapi karena guru memiliki
atribut:
a) Guru
mengandung suatu perangkat teori yang sistematis.Keterampilan mengajar yang
merupakan cirri utama profesi guru timbul dari satu perangkat teori yang dikembangkan
b) Guru
memiliki otoritas terhadap anak dan orangtua,
c) Guru
memiliki klaim atas uang Negara berupa gaji yang diterima.
Tiga atribut ini
sebanding lurus dengan definisi profesi.
Profesi keguruan di Indonesia diatur dengan
UU No 14 tahun 2005 tenang guru dan dosen.UU tersebut menyebutkan bahwa
pemerintah wajib melaksanakan prograf serifikasi untuk para
pendidik.Sertifikasi bagi para guru dalam jabatan adalah proses pemberian
sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan melalui uji kompetensi untuk memperoleh
sertifikat (peraturan Mendiknas, No 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru
dalam jabatan).
Tujuan utama sertifikasi di Indonesia adalah
upaya menjamin mutu para guru agar tetap memenuhi standar kompetensinya.
Secara
sosio-profesi,sertifikasi guru di Indonesia memiliki beberapa tujuan,
diantaranya sebagai berikut
a) Melindungi
profesi pendidik dan tenaga kependidikan.
b) Melindungi
masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten sehingga merusak citra pendidik dan tenaga kependidikan.
c) Membantu
dan melindungi lembaga penyelenggarakan pendidikan dengan menyediakan rambu-rambu dan instrument-instrumen untuk melakukan seleksi terhadap pelamar yang
kompeten.
d) Membangun
citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan.
e) Memberikan
solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan.
6) Guru sebagai Stataus
Sosial
Di kalangan masyarakat tradisional, gurur
terkadang digelari dengan sebutan-sebutan tertentu. Di antaranya Den Guru, Jang
Guru, Mang Guru, Tuan Guru, dan panggilan-panggilan lainnya. Panggilan ini
merupakan pengakuan sosial terhadap guru sebagai profesi yang istimewa,
walaupun tidak seistimewa sosio-ekonominya. Berbeda halnya di kalangan
masyarakat industry. Para guru tidak memiliki kedudukan istimewa secara sosial.
Secara status, mereka bahkan berada dibawah rangking para pedagang.
Penyebabnya, guru dianggap sebagai sebuah profesi dan mata pencahrian, seperti
profesi-profesi lainnya.
Sebagai komponen sosial yang menempati
kedudukan dan fungsi vital di masyarakat, seorang guru harus memiliki
kompetensi sosial. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesame pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar. Dalam Rancanagan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang guru
(Mulyasa, 2007 : 173) diuraikan bahwa kompetensi sosial merupakan kemampuan
guru sebagai bagaian dari masyarakat, yang sekurang-kurangnya memiliki
kompetensi untuk:
a) Berkomunikasi
secara lisan, tulisan, dan isyarat,
b) Menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional,
c) Bergaul
secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik, dan
d) Bergaul
secara santun dengan masyarakat sekitar.
Selain sebagai pelaku
sosial yang memiliki starata istimewa, secara factual guru adalah agen
perubahan sosial. Hal ini diakui dan dinyatakan secara terbuka oleh UNESCO.
UNESCO mengungkapkan bahwa guru adalah agen perubahan yang mampu mendorong
terhadap pemahaman dan toleransi, dan tidak sekedar mencerdaskan peserta didik,
tetapi mampu mengembangkan kepribadian yang utuh, berakhlak, dan berkarakter
(Mulyasa, 2007: 184).
B. Peranan
dan Kedudukan
1. Hubungan
Peran dan Kedudukan
Kedudukan (status) merupakan salah satu unsure baku dalam
system lapisan, dan mempunyai arti yang penting bagi system sosial.Sistem
sosial adalah pola-pola yang mengatur
hubungan timbal balik antara individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku
individu-indivudu tersebut (Linton, 1956: 105). Dalam hubungan timbal balik
tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti penting karena
langgengnya masyarakat bergantung pada keseimbangan kepentingan individu
termaksud.
Kedudukan sosial artinya tempat seseorang secara umum
dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan
pergaulannya, prestasinya, dan hak serta kewajiban.
Para sosiolog pada umumnya mengembangkan dua macam
kedudukan berikut:
a) Ascribed
status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan
perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena
kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan pula.
b) Achieved
status, adalah kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang
disengaja. Kedudukan ini tidak diproleh atas dasar kelahiran, tetapi bersifat
terbuka bagi siapa saja, bergantung pada kemampuan masing-masing dalam mengejar
serta mencapai tujuan-tujuannya.
Terkadang,
para siosiolog menebut satu macam lagi kedudukan, yaitu assigned-status, yang
merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned-status sering mempunyai hubungan
erat dengan achieved-status. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan
kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah
memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat
(Polak, 1966: 198).
Kedudukan
seseorang atau kedudukan yang melekat padanya dapat terlihat pada kehidupan
sehari-harinya melelui cirri-ciri tertentu yang didalam sosiologi dinamakan
prestise-simbol (status-symbol). Cirri-ciri tersebut seolah-olah sudah menjadi
bagian hidupnya yang telah institutionalized atau bahkan internalized. Ada
beberapa cirri tertentu yang dianggap sebagai status-simbol, misalnya cara
berpakaian, pergaulan, cara mengisi waktu senggang, memilih tempat tinggal,
cara dan corak menghiasi rumah kediaman, dan seterusnya.
Sementara
itu, peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajiaban sesuai dengan kedudukannya, dia
menjalankan suatu peranan. Pembedaan antara kedudukan dan peranan adalah untuk
kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tak dapat dipisahkan karena yang satu
bergantung pada yang lain, dan sebaliknya. Sebagaimana halnya dengan kedudukan,
peranan juga mempunyai dua arti.
Berdasarkan
status yang diperoleh ini, kita menjumpai berbagai macam stratifikasi
diantaranya stratifikasi usia yang didasarkan pada perolehan, stratifikasi
jenis kelamin didasarkan juga pada factor perolehan, stratifikasi yang
didasarkan pada hubungan kekerabatan, stratifikasi berdasrkankeanggotan dalam
kelompok tertentu, dan juga stratifikasi profesi guru berdasarkan status yang
diraih, salah satu diantaranya ialah stratifikasi profesi guru.
Peranan
mungkin mencakup tiga hal berikut:
a) Peranan
meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam
masyarakat;
b) Peranan
merupakan sustu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarkat sebagai organisasi;
c) Peranan
juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting baagi struktur
sosial masyarakat.
Terkait
dengan peranan adalah perihal fasilitas bagi peranan individu (role
facilities). Masyarakat biasanya memberikan fasilitas pada individu untuk
menjalankan peranan. Lembaga-lembaga kemasyrakatan yang banyak menyediakan
peluang untuk pelaksanaan peranan.
Di
dalam interaksi sosial kadang-kadang muncul fakta bahwa peranan tidak lebih
penting dibanding kedudukan sehingga terjadi hubungan-hubungan timpang yang
tidak seharusnya terjadi. Hubungan-hubungan yang timpang tersebut lebih
cenderung mementingkan bahwa suatu pihak hanya mempunyai hak saja, sedangkan
pihak lain mempunyai kewajiban belaka.
2. Teori
Fungsionalais
Para penganut teori fungsionalis membahas perihal
kedudukan dan peran dalam kajian stratifikasi sosial. Teori fungsionalis
diajukan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (Sanderson:278-279). Penjelasan Davis
dan Moore dikenal sebagai penjelasan fungsionalais karena menekankan pada
fungsi satatu dalam masyarakat yang dinilai menunjang kesinambungan masyarakat
(Sunarto, 1985: 231-238). Menurut teori ini stratifikasi timbul dari kebutuhan
fungsional dasar untuk terciptanya tatanan kehidupan sosial, sehingga
stratifikasi sangat penting dan mutlak dalam kehidupan bermasyarakat. Davis dan
Moore berpendapat bahwa untuk hidup dan berfungsi secara efektif, semua
masyarakat menghadapi masalah dasar dalam mendorong anggota masyarakat untuk
menempati posisi sosial yang penting. Keduanay percaya bahwa sebuah system
stratifikasi merupakan mekanisme untuk menyelesaiakn masalah yang dihadapi.
Dengan demikian, stratifikasi sosial merupakan system insentif, sebagai alat
untuk memotivasi orang agar mengemban tanggung jawab sosial. Bagi mereka yang
berbakat dan mau bekerja keras, berkorban, dengan tujuan mencapai jabatan
penting, imbalan yang tinggi akan diperolehnya. Sebaliknya, bagi mereka yang
tidak mempuyai motivasi dan tidak terampil akan mempunyai peranan yang kecil
dengan imbalan kecil pula.
Davis dan Moore berpendapat bahwa tingkatan posisi sosial
di masyarakat ditentukan oleh dua factor, yaitu (1) kepentingan fungsional dan
(2) kelangkaan personal. Tidak semua posisi sosial itu penting untuk
berfungsinya system sosial. Suatu posisi lebih penting dibanding posisi lainnya
sehingga ia dapat melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
3. Teori
Kelompok Status
Teori kelompok status digagas oleh Max Weber. Weber
percaya bahwa ada dua tipe kelompok stratifikasi sosial yang berperan penting
dalam setiap system strafikasi masyarakat, yaitu kelompok status dan partai.
Kelompok status didefinisikan oleh Weber sebagai kelompok yang anggotanya
mempunyai gaya hidup tertentu dan mempunyai tingkat penghargaan dan kehormatan
sosial tertentu. Sebuah partai adalah sebuah asosiasi politik yang anggotanya
melakukan atau mempunyai kekuatan sosial tertentu. Weber mengidentifikasi tiga
aspek stratifikasi, yaitu kekayaan, kehormatan, dan gaya hidup. Weber melihat
bahwa pemilikan modal, kehormatan, dan kekuasaan dapat berdiri sendiri satu
sama lain. Oleh karena itu, suatu kelompok yang mempunyai pemilikan modal belum
tentu memiliki kedudukan yang tinggi dalam kerangka status dan kekuasaan,
seperti juga sebuah kelompok yang mempunyai status tinggi belum tentu memiliki
modal yang besar pula (Sabderson, 2003: 283).
Konsep kelas, kelompok status, dan partai adalah analisis
abstrak dan mungkin sulit untuk diterapkan dalam kelompok sosial yang konkret.
Contohnya konsep kelas menurut Weber dapat saja berupa sebuah kelas sekaligus
kelompok status. Dengan menggunakan criteria Weber, guru di Sumedang dapat
diidentifikasikan sebagai sebuah kelas dan status sosial. Sebagai sebuah kelas,
posisi ekonomi mereka tidak berlandaskan pada pola kepemilikan modal, tetapi
sebagai status, mereka memiliki status sosial tinggi.
Dalam menganalisis stratifikasi sosial, Weber menggunakan
konsep lain yang dikenal dengan konsep batas sosial (social closure). Konsep
batas sosial Weber merupakan tambahan penting terhadap analisis Marxisme tentang
system stratifikasi modern. Hal ini memungkinkan konsep Marxis tentang
pemilikan modal digolongkan sebagai salah satu konsep batas sosial. Oleh karena
itu, pemilikan modal dapat dipandang sebagai satu bentuk penting batas sosial.
Pendekatan Weberian tidak berbeda dengan pendekatan
Marxian. Keduanya saling melengkapi. Akan tetapi, ada satu hal yang menempatkan
pendekatan Weberian lebih unggul, yaitu dalam analisisnya terhadap masyarakat
sosialis. Karena masyarakat ini tidak memiliki bentuk pemilikan kekayaan
pribadi, teori Marxian klasik tidak menjelaskan mengapa mereka terstratifikasi,
tetapi system stratifikasi masyarakat ini dapat dijelaskan dengan menggunakan
pendekatan Weberian.
Meskipun pendidikan merupakan alat pembatasan sosiaol
utama dalam masyrakat industry modern, ia bukan satu-satunya alat. Para
professional terpelajar menggunakan criteria ini untuk memisahkan kelompok
mereka, tetapi mereka menggunakan dua alat lain bagi kesuksesan perekonomian
mereka, yaitu (1) memanipulasi kultur simbolik dan (2) mengembangkan bentuk
organisasi politik yang kuat (Sanderson, 2003: 285). Ilmu pendidikan, misalnya,
dalam masyarakat agraris tradisional sangat menguntungkan para guru yang
berakibat tingginya prestasi sosial mereka. Telah diketahui bahwa para guru di
kalangan masyarakat agraris tradisional mencapai kesuksesan prestasi sosial.
Mereka memonopoli bentuk pengetahuan spesialis dalam bidang keguruan. Dengan
tujuan menunjukan monopoli mereka atas pengetahuan tersebut, mereka
mengembangkan system terminology rumit dari bahasa tertentu (seperti Latin) dan
hanya orang tertentu yang mampu mengetahuinya. Terminology rumit tersebut tidak
banyak dipahami, misalnya, oleh para tukang ojek. Cara ini didesain untuk
mengesankan bagi mereka yang menggunakan jasa mereka. Dengan desain ini, mereka
memiliki kemudahan untuk mengklaim bahwa mereka patutu mendapatkan imbalan
prestasi sosial yang tinggi.
4. Teori
Para Sosiolog Muslim
Kedudukan dan peranan dalam sosiolog Islam dikaji secara
satu paket oleh para sosiolog muslim dengan kajian stratifikasi sosial. Gagasan
mengenai stratifikasi sosial dalam ilmu sosiol Islam berbeda dengan gagasan
mengenai stratifikasi sosial dalam ilmu sosial Barat modern. Istilah Al-Quran,
sebagai sumber teori stratifikasi sosial Islam, yang berkenaan dengan makna
stratifikasi sosial adalah darajah
dan thabaqah. Istilah tersebut
digunakan untuk menunjukan suatu golongan masyarakat. Dalam kesustraan Arab
klasik, kata ini tidak mengandung arti suatu kelompok berpendapatan khusus, dan
digunakan untuk menyebut suatu masyarakat yang beragam kriteria pikirannya
(Baalbaki, 2001: 540). Sementara itu, gagasan tentang perbedaan dan
stratifikasi sosial terisyarat dari Al-Quran, Surat Az-Zukhruf ayat 32:
“
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.”
Sebelum Islam datang, di Arab stratifikasi sosial- stratifikasi
sosial sudah ada. Namun, yang diajarkan oleh Islam adalah tidak ada
stratifikasi sosial, kecuali ketakwaan. Seorang guru tidak lantas memiliki
keistimewaan menurut Islam, apabila tidak memiliki parameter ketakwaan yang jelas,
seperti berperilaku baik, senang membantu, dan berbudi luhur.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa secara keprofesian formal Guru adalah sebuah jabatan
akademik yang memiliki tugas sebagai sebagai pendidik, dan memiliki peranan
penting dalam masyarakat dan juga memiliki fungsi sebagai guru yang senatiasa
mengikuti perkembangan taraf kemajuan prestasi belajar atau kinerja akademik
siswa dalam setiap kurun waktu pembelajaran.
B. Saran
Melalui makalah yang telah dibuat ini,
diharapkan kepada setiap orang yang membaca makalah ini agar dapat memaknai
arti guru yang sebenarnya serta peran dan kedudukannya baik disekolah maupun
dilingkungan masyarakat,sehingga melalui makalah ini pembaca bisa belajar dan
menerapkannya sebagai seorang guru/konselor yang professional dimasa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwikarta,
Sudardja. 1988. Sosiologi Pendidikan:
Isyu dan Hipotesis tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat.
Jakarta: Depdiknas.
Abdullah,
Syamsudin. 1997. Agama dan Masyarakat:
Pendekatan Sosiologi Agama. Jakarta:
Logos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar