Pendekatan
ilmu perilaku dan kognitif sosial
Oleh
Kelompok VI
Nama :
Siti Saida Pella (1501160021)
Kristovorus Dawo Wawo (1501160029)
Meri Aryani Leo Age (1501160023)
Semester : II
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN KONSELING
JURUSAN
ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NUSA CENDANA
kupang
2016/2017
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis
panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Pendekatan
Ilmu Perilaku dan Kognitif Sosial ” yang dibuat untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Psikologi Pendidikan tahun ajaran 2016/2017.
Penulis juga ingin mengucapkan
terimakasih bagi seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan
Makalah ini dan berbagai sumber yang telah penulis pakai sebagai data dan fakta
pada Makalah ini.
Penulis menyadari bahwa Makalah ini
masih jauh dari kata sempurna,oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Kupang,03 April 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
D. Manfaat
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi
Pembelajaran
B. Pendekatan
Ilmu perilaku Terhadap Pembelajaran
C. Analisis
Ilmu Perilaku Terapan Dalam Pendidikan
D. Pendekatan
Kognitif Sosial Terhadap Pembelajaran
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendekatan Perilaku merupakan pendekatan
tingkah laku yang subjek masalahnya berfokus pada segala sesuatu yang dapat diamati
secara langsung bukan pada proses mental seperti penalaran, perasaan dan
motif-motif yang tidak dapat diamati secara
langsung.
Ada dua pandangan ilmu
perilaku yakni pengondisian klasik (classical conditioning) dan pengondisian
operan (operant conditioning) yang menekankan pada assosiative learaning
yaitu pembelajaran dalam membuat suatu asosiasi atau hubungan baru dari dua peristiwa
yang berbeda.
Sedangkan pendekatan
pembelajaran kognitif lebih berfokus pada pikiran. Ada empat pendekatan
kognitif utama pembelajaran yakni kognitif sosial yaitu menekankan bagaimana
faktor-faktor perilaku lingkungan dan individu berinteraksi untuk mempengaruhi
pembelajaran, pemprosesan informasi kognitif yakni berfokus pada bagimana anak-anak
memproses informasi melalui perhatian, ingatan, pemikiran, dan proses-proses
kognitif lainnya, konstruktivis kognitif menekankan pada konstruksi kognitif
anak atas pengetahuan dan pemahaman, dan konstrutif sosial yakni menekankan
pada proses kolaborasi dengan orang lain untuk meghasilkan pengetahuan dan
pemahaman.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian dari pembelajaran?
2.
Apa
sajakah pendekatan ilmu perilaku terhadap pembelajaran?
3. Bagaimana
analisis ilmu perilaku terapan dalam pendidikan?
4. Apa
sajakah pendekatan kognitif sosial terhadap pembelajar?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari pembelajaran.
2. Untuk
mengetahui pendekatan ilmu perilaku terhadap pembelajaran.
3. Untuk
mengetahui analisis ilmu perilaku terapan dalam pendidikan.
4. Untuk
mengetahui pendekatan kognitif sosial terhadap pembelajaran.
D. Manfaat
Penulisan
1. Mahasiswa
dapat mengetahui pengertian dari pembelajaran.
2. Mahasiswa
dapat mengetahui pendekatan ilmu perilaku terhadap pembelajaran.
3. Mahasiswa
dapat mengetahui analisis ilmu perilaku terapan dalam pendidikan.
4. Mahasiswa
dapat mengetahui pendekatan kognitif sosial terhadap pembelajaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
PEMBELAJARAN
Pembelajaran (learning) dapat
didefinisikan sebagai pengaruh yang relative permanen terhadap perilaku dan
pengetahuan, serta keterampilan-keterampilan berpikir yang diperoleh melalui
pengalaman.
Pendekatan terhadap pembelajaran
yaitu Behavorisme (ilmu perilaku) dan kognitif. Behaviorisme adalah suatu
pandangan bahwa perilaku seharusnya dapat dijelaskan oleh pengalaman-pengalaman
yang dapat diamati.
B. PENDEKATAN
ILMU PERILAKU TERHADAP PEMBELAJARAN
Pendekatan ilmu perilaku menekankan
pentingnya anak-anak dalam membuat hubungan antara pengalaman dan perilaku.
Pendekatan ilmu perilaku ada dua yaitu pengondisian klasik dan pengondisian
operan:
1. Pengondisian
Klasik
Konsep pengondisian klasik di kembangkan oleh Ivan Pavlov
(1849-1936). Pengondisian klasik (classical conditioning) adalah suatu bentuk
pembelajaran asosiatif dimana sebuah stimulus netral diasosiasikan dengan
stimulus yang berarti dan mendapatkan kapasitas untuk mendatangkan respon yang
sama.
Ada dua jenis stimulus dan dua jenis respons teori
pengondisian klasik dari Pavlov : stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned
stimulus-UCS), respons yang tidak terkondisi (unconditioned response-UCR),
stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus-CS), dan respon yang terkondisi
(conditioned response-CR).
Stimulus yang tidak terkondisi adalah
sebuah stimulus yang secara otomatis menghasilkan sebuah respons tanpa
pembelajaran apa pun terlebih dulu. Respons
yang tidak terkondisi adalah sebuah respons yang tidak dipelajari yang
secara otomatis didatangkan oleh stimulus yang tidak terkondisi (UCR
didatangkan oleh UCS). Dalam eksperimen Pavlov, keluarnya air liur oleh anjing
sebagai respons terhadap makanan adalah UCR. Stimulus terkondisi adalah stimulus yang sebelumnya bersifat netral
yang akhirnya mendatangkan sebuah respons yang terkondisi, setelah
diasosiasikan dengan stimulus yang tidak terkondisi (CS mendatangkan CR setelah
diasosiasikan dengan UCS). Stimulus-stimulus yang dikondisikan dalam eksperimen
Pavlov diantaranya adalah berbagai pandangan dan suara yang terjadi sebelum
anjing tersebut benar-benar mengonsumsi makanan, seperti suara pintu terbuka
sebelum makanan ditempatkan dalam piring anjing tersebut. Respons yang terkondisi adalah sebuah respons yang dipelajari
terhadap stimulus yang terkondisi, yang terjadi setelah UCS-CS dipasangkan.
Pengondisian klasik dapat terlibat dalam pengalaman
anak-anak yang positif
maupun negative di dalam kelas. Hal-hal yang terjadi di dalam sekolah yang menyenangkan bagi anak
bisa disebabkan karena mereka telah terkondisi secara
klasik, misalnya adalah lagu favorit, perasaan bahwa ruang kelas adalah aman dan tempat yang
menyenangkan, serta guru yang hangat dan mengasuh. Sebuah lagu mungkin saja netral bagi anak
hingga anak tersebut bergabung dengan
teman-teman sekelas lainnya untuk menyanyikannya dengan perasaan positif yang hadir
bersamanya.
Anak-anak
dapat mengembangkan rasa takut akan ruang kelas jika mereka mengasosiasikan
ruang kelas dengan kritik, jadi kritik menjadi sebuah CS untuk rasa takut.
Pengondisian klasik juga bisa jadi terlibat dalam sikap gelisah saat menghadapi ujian. Sebagai conntoh, seorang anak
gagal lalu dikritik, keadaan tersebut mengakibatkan kegelisahan; setelah itu,
anak tersebut mengasosiasikan ujian
dengan kegelisahan, sehingga ujian-ujian selanjutnya
dapat menjadi CS untuk rasa gelisah.
Sejumlah
masalah kesehatan anak juga bisa jadi terlibat dengan pengondisian klasik. Keluhan-keluhan fisik tertentu seperti
asma, sakit kepala, dan tekanan darah
tinggi sebagian mungkin dikarenakan pengondisian klasik.Kita biasanya megatakan bahwa masalah-masalah kesehatan
seperti itu dikarenakan oleh
stress. Meskipun demikian, sering kali yang terjadi adalah stimulus tertentu, seperti kritik
tajam dari orang tua atau guru, merupakan stimulus
terkondisi untuk respons fisiologis. Seiring waktu, frekuensi dari respons-respons fisiologis tersebut
dapat menghasilkan masalah kesehatan. Kritik
yang terus-menerus dari seorang guru terhadap siswa dapat menyebabkan siswa tersebut mengalami sakit
kepa la, ketegangan otot, dan lainnya.
Segala sesuatu yang berasosiasi dengan guru, seperti latihan pembelajaran di kelas dan pekerjaan rumah,
dapat memicu stres siswa dan selanjutnya
dihubungkan dengan sakit kepala atau respons-respons fisiologis lainnya.
Proses-proses dalam pengondisian
klasik: Generalisasi, Diskriminasi, dan
Pelemahan.
Generalisasi dalam pengondisian
klasik melibatkan kecenderungan dari
stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk menghasilkan
respons serupa. Pavlov menemukan bahwa anjing tersebut juga merespons
suara-suara lainnya, seperti peluit. Semakin suara tersebut mirip dengan bel,
semakin kuat respons anjing tersebut. Seorang siswa dikritik untuk hasil yang
buruk pada ujian biologi. Ketika siswa tersebut mulai mempersiapkan diri untuk
ujian kimia, ia juga menjadi sangat gugup karena kedua subjek tersebut
berhubungan dekat dalam ilmu pengetahuan. Jadi, kegelisahan siswa tersebut
menggeneralisasi dari melakukan ujian dalam satu subjek ke melakukan ujian dalam
subjek lainnya.
Diskriminasi
dalam pengondisian klasik terjadi ketika organisme merespons
stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya (Murphy, Baker, & Fouguet, 2001). Untuk
menghasilkan diskriminasi, Pavlov memberikan
makanan kepada anjing hanya setelah membunyikan bel, tidak setelah suara-suara lainnya. Setelah
itu, anjing tersebut hanya merespons kepada
bel. Dalam kasus siswa yang mengambil ujian dalam kelas yang berbeda, ia tidak menjadi sama
gelisahnya dalam melakukan ujian bahasa Inggris
atau ujian sejarah karena keduanya adalah area subjek yang sangat berbeda.
Pelemahan
(extincition) dalam pengondisian klasik melibatkan proses melemahnya stumulus yang terkondisi
(CR) dengan menghilangkan atau tidak adanya
stimulus yang tidak terkondisi (UCS). Dalam satu sesi, Pav;ov membunyikan bel secara berulang-ulang,
tetapi tidak memberikan makanan kepada
anjing tersebut. Akhirnya, anjing tersebut berhenti mengeluarkan air liur pada saat bunyi bel. Sama halnya
dengan siswa yang menjadi gelisah ketika
melakukan ujian mulai mendapatkan hasil yang lebih baik pada ujian- ujiannya sehingga kegelisahannya akan
berkurang.
Systematic
desensitization adalah metode yang didasarkan pada pengondisian klasik yang mengurangi
kesemasan dengan membuat individu mengasosiasikan
relaksasi mendalam dengan visualisasi dari situasi-situasi yang meningkatkan kecemasan. Bayangkanlah
Anda mempunyai seorang siswa yang sangat
gugup ketika berbicara di depan kelas. Tujuan dari Systematic desensitization adalah
membuat siswa tersebut mengasosiasikan berbicara
di depan umum dengan relaksasi, seperti berjalan di pantai yang sunyi, bukan mengasosiasikan dengan
kecemasan. Dengan menggunakan teknik
visualisasi, siswa tersebut dapat mempraktikan Systematic desensitization dua
minggu sebelum tampil di depan kelas, kemudian seminggu
sebelumnya, empat hari sebelumnya, dua hari sebelumnya, sehari sebelumnya, pagi hari sebelum tampil,
pada saat memasuki ruangan tempat ia haris
berbicara di depan umum, pada saat menuju podium, dan selama berbicara di depan kelas.
Desensitization melibatkan
sejenis pengondisian balik (counterconditioning)
(McNeil, 2000). Usaha membuat perasaan menjadi rileks
seperti yang dibayangkan siswa (UCS) menghasilkan relaksasi (UCR). Isyarat-isyarat yang menghasilkan
kecemasan (CS) oleh si siswa diasosiasikan dengan
perasaan yang membuatnya rileks. Relaksasi seperti ini tidaklah tepat jika digunakan untuk menurunkan
kecemasan. Dengan dipasangkannya isyarat lemah
yang menghasilkan kecemasan dengan relaksasi dari awal proses dan secara bertahap menaikkannya secara
bertingkat (dari dua minggu sebelum tampil
hingga naik podium untuk berbicara di depan kelas), maka semua isyarat yang menghasilkan kecemasan akan
menghasilkan relaksasi (CR).
Mengevaluasi
Pengondisian Klasik pengondisian klasik membantu kita memahami beberapa aspek dari
pembelajaran secara lebih baik dibandingkan
yang lainnya. Pengondisian klasik berhasil menjelaskan bagaimana stimulus netral diasosiasikan dengan
respons-respons yang tidak dipelajari
dan tidak disengaja (LoLordo, 2000; Miller, 2006). Cara ini khususnya berguna dalam memahami
kecemasan dan ketakutan siswa.
2.
Pengondisian Operan
Pengondisian operan
(operant conditioning) juga disebut pengondisian instrumental (instrumental
conditioning) adalah suatu bentuk pembelajaran di mana konsekuensi-konsekuensi
dari perilaku menghasilkan perubahan dalam berbagai kemungkinan terjadinya
perilaku tersebut. Tokoh utama pengondisian operan adalah B. F. Skinner, yang
pandangannya dibangun dari aliran connectionist E. L. Thorndike.
a.
Hukum Akibat Thorndike
Psikologi Amerika, E. L.
Thorndike (1906), mempelajari kucing dalam kotak teka-teki. Thorndike menempatkan
seekor kucing yang lapar di dalam sebuah kotak dan meletakan sepotong ikan di
luar. Untuk keluar dari kotak, kucing tersebut harus belajar bagaimana cara
membuka grendel di dalam kotak. Pertama-tama, kucing tersebut membuat sejumlah
respons yang tidak efektif. Ia mencakar atau menggigit palang dan menjulurkan kakinya
melalui lubang. Akhirnya, kucing tersebut secara tidak sengaja menginjak pedal
yang melepaskan pengait pintu. Ketika kucing tersebut dikembalikan ke dalam
kotak, ia melakukan aktivitas-aktivitas tak terarah yang sama dengan sebelumnya
hingga ia menginjak pedal sekali lagi. Pada percobaan-percobaan berikutnya,
kucing tersebut membuat gerakan tak terarah yang semakin lama semakin
berkurang, hingga ia langsung mencakar pedal untuk membuka pintu. Hukum Akibat
(law of effect) Thorndike menyatakan
bahwa perilaku yang diikuti oleh hasil positif akan diperkuat dan perilaku yang
diikuti oleh hasil negative akan diperlemah.
b.
Pengondisian Operan Skinner
Pengondisian
operan, di mana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan
dalam berbagai kemungkinan terjadinya perilaku tersebut, adalah inti dari ilmu
perilaku B. F. Skinner (1938). Konsekuensi-penghargaan atau hukuman-bergantung
pada perilaku organisme.
c.
Pengutan dan Hukuman
Ø Penguatan
(reinforcement) atau penghargaan (reward) adalah suatu konsekuensi yang
meningkatkan peluang terjadinya sebuag perilaku. Sebagai contoh, Anda dapat
mengatakan kepada salah satu siswa Anda, “Selamat, saya benar-benra bangga
dengan kisah yang kamu tulis.” Jika siswa tersebut berkerja lebih keras dan
menulis sebuah kisah yang bahkan lebih bagus lagi disaat mendatang. Komentar
positif Anda dikatakan memperkuat atau menjadi penghargaan bagi perilaku
menulis siswa. Memperkuat perilaku sama artinya dengan menegaskan perilaku. Dua
bentuk dari penguatan ini adalah pengutan positif dan penguatan negative. Dalam
penguatan positif (positive
reinforcement), frekuensi dari sebuah respons meningkat karena diikuti oleh
sebuah stimulus yang mengandung penghargaan, seperti dalam contoh di mana
komentar positif guru meningkatkan perilaku menulis siswa. Sama halnya, memuji
orang tua untuk datang pada pertemuan orang tua guru, dapat mendorong mereka
untuk datang kembali.
Sebaliknya,
dalam pengutan negative (negative reinforcement), frekuensi dari
respons meningkat karena diikuti oleh stimulus yang tidak menyenangkan yang
ingin dihilangkan (Frieman, 2002). Sebagai contoh, seorang ayah mengomeli anak
laki-lakinya agar ia mengerjakan pekerjaan rumah. Ia terus mengomel. Akhirnya,
anak tersebut menjadi lelah mendengar omelan tersebut dan mengerjakan pekerjaan
rumahnya. Respons anak tersebut (mengerjakan pekerjaan rumahnya) menghilangkan
stimulus yang tidak menyenangkan (omelan).
Ø Hukuman
(punishment) adalah suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya sebuah
perilaku. Sebagai contoh, jika Anda menunjukan muka tidak senang terhadap siswa
yang mengobrol dalam kelas dan tindakan mengobrol siswa-siswa menjadi
berkurang, muka ketidaksenangan Anda merupakan hukuman bagi tindakan tersebut.
d.
Generalisasi, Diskriminasi, dan
Extinction
Generalisasi dalam pengondisian
operan berarti memberikan respons yang sama terhadap stimulus yang
serupa. Focus perhatiannya adalah tingkat di mana perilaku disamaratakan dari
satu situasi ke situasi yang lain. Sebagai contoh, jika seorang guru memuji
siswa untuk mengajukan pertanyaan yang bagus yang berhubungan dengan bahasa
inggris, akankah hal ini menyamaratakan untuk kerja keras dalam sejarah,
matematika, dan subjek-subjek lainnya?
Diskriminasi dalam pengondisian
operan, melibatkan perbedaan antara stimulus-stimulus atau kejadian-kejadian
lingkungan. Sebagai contoh, seorang siswa tahu bahwa wadah di meja guru yang
bertuliskan “Matematika” adalah tempat ia harus meletakkan tugas metematika
hari ini, sementara wadah lainnya yang bertuliskan “Bahasa Inggris” adalah
tempat tugas bahasa Inggris hari ini harus diletakan. Hal ini mungkin
kedengaran terlalu sederhana, tetapi penting karena dunia siswa diisi dengan
stimulus-stimulus diskriminatif sejenis. Di sekitar sekolah, stimulus-stimulus
diskriminatif ini termasuk tanda yang menunjukkan “Dilarang Masuk”, “Berbaris
di Sini”, dan seterusnya.
Dalam pengondisian operan, extinction
terjadi ketika sebuah respons yang sebelumnya diperkuat tidak lagi
diperkuat dan responsnya berkurang. Dalam kelas, penggunaan extinction yang paling umum bagi guru
adalah menghentikan perhatian dari sebuah perilaku yang dipertahankan oleh
adanya perhatian tersebut. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus perhatian, jika
seorang guru kurang hati-hati justru akan memperkuat perilaku seorang siswa
yang suka mengganggu, misalnya siswa yang mencubit siswa lain lalu guru
buru-buru berbicara dengan pelaku. Jika hal ini terjadi secara rutin, siswa
akan belajar bahwa mencubit siswa lain merupakan sebuah cara ampuh untuk
mendapatkan perhatian guru. Jika guru menghentikan perhatiannya, tindakan siswa
tersebut dapat dihilangkan.
C. ANALISIS
ILMU PERILAKU TERAPAN DALAM PENDIDIKAN
1.
Definisi Analisis Ilmu Perilaku Terapan
Analisis perilaku
terapan adalah penerapan prinsip pengondisian operan untuk mengubah perilaku
manusia. Aplikasi analisis perilaku terapan sering kali menggunakan serangkaian
langkah (Hayes, 2000). Langkah ini biasanya dimulai dengan beberapa observasi
umum dan kemudian menentukan perilaku yang secara spesifik yang perlu diubah,
dan mengamati kondisi antesedennya. Kemudian ditentukan tujuan behavioralnya,
memperkuat dan menghukum perilaku yang dipilih, melakukan program manajement
perilaku, dan megevaluasi kesuksesan atau kegagalan program tersebut.
2.
Meningkatkan Perilaku yang Diinginkan
1)
Memilih Penguat yang Efektif
Analisis perilaku terapan
menganjurkan agar guru mencari tahu penguat apa yang paling baik buat anak
yakni mengindividualisasikan penggunaan penguat tertentu. Untuk satu murid
mungkin bisa menggunakan pujian, untuk murid lain bisa memberi kesempatan
padanya untuk melakukan kegiatan yang disukainya, untuk murid lain bisa dengan
membiarkan murid bermain, dan untuk anak lainnya bisa dengan mengajaknya
menjelajahi internet. Untuk mencari penguat yang paling efektif bagi seorang
anak, Anda bisa meneliti apa yang memotivasi anak di masa lalu (sejarah
penguatan), apa yang ingin dilakukan murid tapi tidak mudah diperolehnya, dan
persepsi anak terhadap manfaat atau nilai penguat.
Beberapa
analis perilaku terapan merekomendasikan agar guru bertanya kepada anak tentang
penguat apa yang mereka sukai (Raschke, 1981). Rekomendasi lainya adalah
menggunakan penguat baru untuk mengurangi kebosanan anak. Penguat alamiah
seperti pujian dan privilese, biasanya lebih dianjurkan ketimbang penguat imbalan
materi, seperti permen, mainan dan uang (Hall & Hall, 1998).
Penguat yang paling sering dipakai
guru adalah aktivitas. Prinsip Premack, yang
ditemukan oleh David Premack menyatakan bahwa aktivitas berprobabilitas tinggi
dapat berfungsi sebagai penguat aktivitas berpropabilitas rendah. Prinsip
Premack akan bekerja ketika guru murid SD berkata kepada muridnya, “Jika kamu
selesai mengerjakan tugas menulis, kamu bisa main game di komputer” atau seorang guru berkata kepada anak didiknya,
“JIka kau mau mengambil bata itu, maka kamu bisa membantu Bu Manson untuk
menyiapkan camilan.” Penggunaan prinsip Premack tidak dibatasi hanya pada satu
anak saja. Prinsip ini juga bisa digunakan untuk seluruh kelas. Guru bisa
mengatakan kepada semua muridnya di kelas, “Jika kelas ini bisa menyerahkan PR
pada hari Jum’at, kita akan mengadakan wisata minggu depan.”
2) Menjadikan Penguat Kontingen dan
Tepat Waktu
Agar sebuah
penguat dapat efektif, guru harus memberikan hanya setelah murid melakukan
perilaku tertentu. Analisis perilaku terapan sering kali menganjurkan agar guru
membuat pernyataan “Jika…maka” kepada anak. Misalnya, “Hadi, apabila kamu bisa
menyelesaikan soal matematika, maka kamu boleh bermain.” Ini menjelaskan pada
Hadi apa yang harus dilakukannya agar memperoleh penguat itu.
Analis perilaku
terapan mengatkan bahwa adalah penting untuk membuat penguat itu kontingen pada
perilaku anak. Artinya, anak harus melakukan suatu perilaku agar mendapatkan
imbalan. Apabila hadi tidak menyelesaikan sepuluh soal matematika tapi guru
mengizinkannya bermain, maka berarti tidak ada kontingensi di sini.
Penguat
akan lebih efektif, jika diberikan tepat pada waktunya, sesegera mungkin
setelah anak menunjukan perilaku yang
diharapkan (Umbreit, dkk, 2007). Ini membantu anak untuk melihat hubungan
kontingensi (contingency) antara
penghargaan dan perilaku mereka. Jika anak menyelesaikan perilaku sasaran
(seperti menyelesaikan sepuluh soal matematika pada pagi hari) dan guru tidak
memberikan waktu bermain kepada anak sampai sore hari, anak mungkin mempunyai
kesulitan untuk membuat hubungan
kontingensi.
3) Pilih Jadwal Terbaik untuk Penguatan
Penguatan
parsial melibatkan penguatan respons hanya sebagian waktu. Skinner (1957)
mengembangkan konsep jadwal penguatan (reinforcement schedule), yang merupakan
daftar waktu penguatan parsial yang menentukan kapan sebuah respons akan
diperkuat. Keempat jadwal penguatan utama adalah rasio tetap, rasio variabel,
interval tetap, dan interval variabel.
Pada jadwal rasio tetap (fixed-ratio schedule), suatu perilaku diperkuat setelah adanya
respons dalam jumlah yang telah ditetepkan. Sebagai contoh, seorang guru dapat
memberikan pujian kepada anak hanya setelah setiap empat respons yang benar,
tidak setelah setiap respons. Pada jadwal
rasio variabel (variable-ratio
schedule), suatu perilaku diperkuat setelah sejumlah angka rata-rata
tertentu, tetapi dilakukan secara tidak terduga. Sebagai contoh, pujian seorang
gurur dapat mempunyai rata-rata diberikan setia respons kelima tetapi diberikan
setelah respons benar kedua, setelah delapan respons benar berikutnya, setelah
tujuhrespons benar berikutnya, dan setelah tiga respons benar berikutnya.
Jadwla
interval ditentukan oleh jumlah waktu yang terlewati sejak perilaku terakhir
diperkuat. Pada jadwal interval tetap
(fixed-interval schedule), respons
yang sesuai pertama diperkuat setelah sejumlah waktu tetap tertentu. Sebagai
contoh, seorang gurur dapat memberikan pujian kepada seorang anak untuk
mengajukan pertanyaan bagus pertama setelah dua menit telah berlalu atau
memberikan sebuah sebuag kuis setiap minggu. Pada jadwal interval variabel (variable-interval schedule), sebuah
respons diperkuat setelah sejumlah waktu variabel telah berlalu. Pada jadwal
ini, guru dapat memuji pertanyaan anak setelah tiga menit telah berlalu,
kemudian setelah lima belas menit berlalu, setelah tujuh menit berlalu, dan
seterusnya. Memberikan sebuah kuis dengan interval yang tidak merata adalah
contoh lain dari jadwal interval variabel.
Pengaruh
dari penggunaan jadwal-jadwal penguatan terhadap anak
Ø Pembelajaran awal biasanya lebih
cepat dengan penguatan berkelanjutan di bandingkan parsial.
Ø Anak-anak dengan jadwal tetap
menunjukan ketekunan yang lebih rendah dan extinction respons yang lebih cepat
dibandingkan anak-anak dengan jadwal variabel.
4) Pertimbangan untuk Membuat Kontrak
Membuat
kontrak (contracting) melibatan membuatan ketergantungan penguatan dalam
tulisan. Jika masalah timbul dan anak-anak tidak memegang janji, guru dapat
menunjukan kontrak yang telah mereka setujui. Analis perilaku terapan menyarankan
bahwa kontarak kelas seharusnya merupakan hasil masukan dari guru maupun siswa.
Kontrak kelas mempunayi pernyataan “Jika….maka” dan ditandatangani oleh guru
dan anak, kemudian diberi tanggal. Seorang guru dan anak dapat menyetujui
sebuah kontrak yang mengatakan bahwa anak setuju untuk menjadi warga yang baik
dengan melakukan __________, dan __________. Sebagai bagian dari kontrak, guru
setuju untuk ___________ jika siswa berperilaku seperti ini. Dalam beberapa
contoh, guru meminta anak lainnya untuk menandatangani kontrak tersebut sebagai
saksi terhadap persetujuan tersebut.
5) Gunakan Penguatan Negatif secara
Efektif
Seorang
guru yang mengatakan, “Thomas, kamu harus tetap duduk di bangkumu dan
menyelesaikan karanganmu sebelum kamu bergabung dengan siswa yang lain untuk
membuat poster,” sedang menggunakan penguatan negative. Kondidsi negative untuk
tetap tinggal di tempat duduknya sementara anak-anak lainnya melakukan sesuatu
yang menyenangkan akan hilang jika Thomas menyelesaikan karangan yang harus ia
selesaikan lebih awal.
Penggunaan
penguatan negative mempunayi beberapa kekurangan. Kadang-kadang ketika guru
mencoba menggunakan strategi ilmu perilaku ini, anak-anak menjadi marah,
berlari keluar ruangan, atau mengahancurkan barang-barang. Hasil negative ini
paling sering terjadi ketika anak-anak tidak memiliki keterampilan atau
kemampuan utuk melakukan apa yang diminta oleh guru terhadap mereka.
6) Gunakan Arahan dan Pembentukan
Siswa dapat
belajar untuk membedakan diantara stimulus-stimulus atau kejadian-kejadian
melalui penguatan diferensial. Dua strategi penguatan diferensial yang tersedia
bagi guru adalah arahan dan pembentukan (Alberto & Troutman, 2006).
a. Arahan
Arahan
(prompt) merupakan stimulus yang ditambahkan atau isyarat yang diberikan tepat
sebelum sebuah respons yang meningkatkan kemungkinan respons tersebut akan
terjadi. Seorang gurur bahasa yang menunjukan sebuah kartu dengan huruf w-e-r-e dan mengatakan, “Not was, but…” sedang menggunakan arahan
verbal. Seorang guru seni yang menempatkan label cat air pada sekelompok cat dan cat
minyak pada cat lainnya juga menggunakan arahan. Arahan membantu membuat
perilaku terjadi. Setelah siswa secara konsisten memperlihatkan respons yang
benar, arahan tidak lagi dibutuhkan.
Instruksi
dapat digunakan sebagai arahan (Alberto & Troutman, 2006). Sebagai contog,
ketika jam pelajarankesenian akan berakhir, guru mengatakan, “Marilah kita
memulai pelajaran membaca.” Jika siswa-siswa tetap mengerjakan kesenian, guru
menambahkan arahan, “Baik, sisihkan peralatan seni kalian dan ikut saya
ketempat membaca.” Beberapa arahan berbentuk petunjuk, seperti ketika guru
mengatakan kepada siswa untuk berbaris “dengan tenang”. Papan buletin adalah
lokasi yang mum bagi arahan, dengan sering menampilkan pengingat mengenai
aturan-aturan kelas, tanggal penyelesaian proyek, lokasi pertemuan, dan
seterusnya. Beberapa arahan dihadirkan secara visual, seperti ketika guru
menempatkan tangannya di telingan ketika seorang siswa berbicara kurang keras.
b. Pembentukan
Ketika guru
mengunakan arahan, mereka berasumsi bahwa para siswa dapat menampilkan perilaku
yang diinginkan. Akan tetapi, kadang-kadang siswa tidak mempunyai kemampuan
untuk melakukannya. Dalam kasus ini, pembentukan diperlukan. Pembentukan (shaping) melibatkan pengajaran
perilaku-perilaku baru dengan memperkuat perkiraan secara berturut-turut
terhadap sebuah perilaku sasaran tertentu. Pada awalnya, Anda memperkuat
respons apa pun yang mencerminkan perilaku sasaran. Setelahnya, Anda memperkuat
sebuah respons yang mencerminkan sasaran secara lebih dekat, dan seterusnya
hingga siswa menampilkan perilaku sasaran, dan kemudian Anda memperkuatnya
(Chance, 2006).
Andaikan
Anda mempunyai seorang siswa yang tidak pernah menyelesaikan 50 persen atau
lebih dari tugas matematikanya. Anda menetapkan perilaku sasaran pada 100
persen, tetapi Anda memperkuat siswa Anda untuk perkiraan secara brturut-turut
menuju sasaran. Anda pada awalnya dapat memberikan penguat (sejenis hak
istimewa, misalnya) ketika ia menyelesaikan 60 persen, kemudian saat berikutnya
hanya ketika ian menyelesaikan 70 persen, kemudian 80,90 dan akhirnya 100
persen.
Pembentukan
dapat menjadi alat yang penting untuk guru di kelas karena sebagian besar siswa
membutuhkan penguatan di dalam mencapai sebuah tujuan belajar. Pembentukan
terutama dapat membantu untuk tugas-tugas pembelajaran yang membutuhkan waktu
dan ketekunan untuk menyelesaikannya. Tetapi, ketika menggunakan pembentukan,
ingatlah untuk menerapkannya hanya jika jenis penguatan positif lainnya dan
arahan tidak berhasil. Juga ingat untuk bersabar. Pembentukan dapat membutuhkan
penguatan atas sejumlah langkah kecil menuju sebuah perilaku sasaran, dan ini
dapat terjadi hanya melalui periode waktu yang panjang.
3. Mengurangi Perilaku yang Tidak
Diinginkan
Ketika para
guru ingin mengurangi perilaku anak yang tidak diinginkan (seperti mengganggu,
memonopoli diskusi kelas, atau bersikap sok tahu terhadap guru), apa sajakah
pilihan mereka? Analis perilaku terapan Paul Alberto dan Anne Troutman (2006)
merekomendasikan untuk menggunakan langkah-langkah berikut:
1) Gunakan penguatan diferensial.
2) Hentikan penguatan (extinction).
3) Hilangkan stimulus yang diinginkan.
4) Hadirkan stimulus yang tidak disukai
(hukuman).
Jadi,
pilihan pertama guru haruslah penguatan difernsial. Hukuman seharusnya hanya
digunakan sebagai pilihan terakhir dan selalu dibarengi dengan pemberian
informasi kepada anak mengenai perilaku yang pantas.
1) Gunakan penguatan diferensial
Dalam
penguatan diferensial, guru memperkuat perilaku yang lebih pantas atau yang
tidak sesuai dengan yang dulakukan anak. Sebagai contoh, guru dapat memperkuat
seorang anak untuk melakukan aktivitas pembelajaran dengan computer dari pada
memainkan game, untuk bersikap sopan
daripada menginterupsi, untuk tetap duduk dari pada berlarian di kelas, atau
untuk mengerjakan pekerjaan rumah tepat waktu dari pada terlambat.
2) Hentikan penguatan (extinction)
Strategi
untuk menghentikan penguatan melibatkan penarikan penguatan positif dari
perilaku anak yang tidak pantas. Banyak perilaku yang tak pantas secara tidak
sengaja terpelihara oleh penguatan positif, khususnya perhatian guru. Analis
perilaku terapan menunjukkan bahwa hal ini dapat terjadi bahkan ketika guru
memberikan perhatian kepada perilaku yang tidak pantas dengan mengkritik,
mengancam, atau menegur siswa. Jika Anda menjadi sadar bahwa Anda memberikan
terlalu banyak perhatian kepada perilaku siswa yang tidak pantas, abaikanlah
perilaku tersebut dan berikan perhatian kepada perilaku siswa yang pantas.
Selalu kombinasikan penarikan perhatian dari perilaku yang tidak pantas dengan
pemberian perhatian kepada perilaku yang pantas. Misalnya, ketika seorang siswa
berhenti memonopoli pembicaraan dalam satu kelompok diskusi setelah Anda
menarik perhatian Anda, berikanlah pujian untuk perilaku yang membaik dari
siswa tersebut.
3) Hilangkan stimulus yang diinginkan
Ketika
Anda telah mencoba dua pilihan yang pertama, dan keduanya tidak berhasil, maka
pilihan yang ketiga adalah menghilangkan stimulus yang diinginkan dari siswa.
Dua strategi untuk mencapai hal ini adalah “time-out”
dan “biaya respons (cost response).”
a. Time-out
Strategi yang paling luas digunakan para guru untuk
menghilangkan stimulus yang diinginkan adalah time-out. Dengan kata lain,
membuat siswa berhenti melakukan perilaku yang tidak diinginkan dengan menghentikan
penguatan positif terhadap seseorang untuk sementara.
b. Biaya Respons
Strategi kedua untuk menghilangkan stimulus yang diinginkan
melibatkan biaya respons (response cost),
yang merujuk pada menjauhkan atau mengambil sebuah penguat positif dari siswa,
seperti ketika siswa kehilangan hak istimewa tertentu. Sebagai contoh, setelah
seorang siswa berperilaku buruk, guru dapat menghilangkan 10 menit waktu
istirahat atau hak istimewa untuk menjadi pemantau kelas. Biaya respons
biasanya melibatkan sejumlah jenis sanksi atau denda. Seperti halnya time-out, biaya respons harus selalu
digunakan bersamaan dengan strategi-strategi untuk meningkatkan perilaku
positif siswa.
4) Hadirkan stimulus yang tidak disukai
(hukuman)
Kebanyakan
orang mengasosiasikan penghadiran stimulus yang tidak disukai (tidak
menyenangkan) dengan hukuman, seperti ketika guru membentak siswa atau orang
tua memukul anak.
Jenis
stimulus yang tidak disukai dan paling umum digunakan guru adalah teguran
verbal. Tindakan ini lebih efektif digunakan ketika guru berada dekat siswa
dibandingkan saat berada diseberang ruangan dan ketika digunakan bersamaan
dengan teguran nonverbal seperti kerutan dahi atau kontak mata (Van Houten,
dkk, 1982). Teguran lebih efektif jika diberikan segera setelah perilaku yang
tidak diinginkan terjadi dan ketika berupa teguran pendek dan langsung.
4. Mengevaluasi Pengondisian Operan dan
Analisis Ilmu Perilaku Terapan
Pengondisian
operand analisis ilmu perilaku terapan
telah memberikan kontribusi pada praktik pengajaran (Kazdin, 2001; Martin &
Pear, 2007); Purdy, dkk, 2001). Memperkuat dan menghukum konsekuensi merupakan
bagian dari hidup guru dan siswa. Guru memberikan nilai, memuji dan menegur,
tersenyum, serta mengerutkan dahi. Mempelajari mengenai bagaimana konsekuensi-konsekuensi tersebut
memengaruhi perilaku siswa akan meningkatkan kapabilitas Anda sebagai seorang
guru. Jika digunakan secara efektif, teknik-teknik ilmu perilaku dapat membantu
Anda mengatur kelas. Memperkuat perilaku-perilaku tertentu dapat memperbaiki
tingkah beberapa siswa dan digunakan bersamaan dengan skors sementara dapat
meningkatkan perilaku yang diinginkan dalam beberapa siswa yang tidak dapat
diperbaiki (Charles, 2005; Kauffman, dkk, 2005).
D. PENDEKATAN KOGNITIF SOSIAL TERHADAP
PEMBELAJARAN
1. Teori Kognitif Sosial Bandura
Teori
kognitif sosial (social cognitive theory) menyatakan bahwa factor-faktor sosial
dan kognitif, serta perilaku memainkan peran penting dalam pembelajaran.
Factor-faktor kognitif meliputi harapan siswa untuk berhasil; factor-faktor
sosial juga meliputi pengamatan siswa terhadap perilaku pencapaian orang tua
mereka. Teori kognitif sosial adalah acuan yang paling penting dari penerapan
kelas (Choi, 2005; Petosa, dkk, 2005).
Albert
Bandura (1986, 1997, 2001, 2005, 2006) adalah arsitek utama dari teori kognitif
sosial. Ia mengatakan bahwa ketika siswa belajar, mereka secara kognitif dapat
mewakili atau mengubah pengalaman meraka.
Bandura
mengembangkan sebuah model determinisme
timbale-balik yang terbiri atas tiga factor utama: perilaku, lingkungan dan
orang / kognitif. Factor-faktor ini dapat berinteraksi untuk memengaruhi pembelajaran.
Factor-faktor lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan,
factor orang (kognitif) memengaruhi perilaku dan seterusnya.
Pertimbangkanlah
bagaimana model Bandura dapat berguna pada kasus perilaku pencapaian seorang
siswa sekolah menengah atas yang akan kita sebut Sondra:
·
Kognisi memengaruhi perilaku. Sondra mengembangkan strategi
kognitif untuk berpikir secara lebih dalam dan logis mengenai cara memcahkan
masalah. Strategi kognitif tersebut meningkatkan perilaku pencapaiannya.
·
Perilaku memengaruhi kognisi. (Perilaku) belajar Sondra telah
membuatnya meraih nilai-nilai yang baik, sehingga perilaku tersebut akan
menghasilakan ekspetasi-ekspetasi positif mengenai kemampuannya dan memberinya
kepercayaan diri (kognisi).
·
Lingkungan memengaruhi perilaku. Akhir-akhir ini, sekolah tempat
Sondra belajar mengembangkan sebuah program percobaan keterampilan belajar
untuk membantu siswa belajar cara membuat catatan, mengelola waktu mereka, dan
mengerjakan ujian secara lebih efektif. Program keterampilan belajar tersebut
meningkatkan perilaku pencapaian Sondra.
·
Perilaku memengaruhi lingkungan. Program keterampilan belajar
tersebut berhasil meningkatkan perilaku pencapaian dari banyak siswa dalam
kelas Sondra. Perilaku pencapaian yang meningkat dari siswa mendorong sekolah
untuk mengembangkan program tersebut sehingga semua siswa di sekolah menengah
atas tersebut berpartisipasi di dalamnya.
·
Kognisi memengaruhi lingkungan. Ekspetasi awal dan perencanaan
kepala sekolah dan guru di sekolah tersebut membuat program keterampilan
belajar dirasa mungkin dilaksanakan.
·
Lingkungan memengaruhi kognisi. Sekolah tersebut membentuk sebuah
pusat literature yang dapat dikunjungi siswa dan orang tua untuk mendapatkan
buku dan materi untuk meningkatkan keterampilan belajar. Pusat literature
tersebut juga membuta bimbingan keterampilan belajar tersedia bagi siswa.
Sondra dan orang tuanya memanfaatkan literature dan bimbingan tersebut.
Literature dan layanan ini meningkatkan keterampilan pemikiran Sondra.
Dalam
model pembelajar Bandura, factor orang / kognitif memainkan peran penting.
Factor orang / kognitif ditekankan Bandura (1997, 2004, 2005, 2006) dalam
tahun-tahun terakhir adalah efikasi diri
(self-efficacy), keyakinan bahwa
seseorang dapat menguasai situasi dan menciptakan hasil yang positif. Bandura
mengatakan bahwa efikasi diri
mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku. Sebagai contoh, seorang siswa yang
mempunyai efikasi diri rendah
kemungkinan tidak akan mencoba belajar untuk ujian karena ia tidak percaya
bahwa hal itu akan membawa kebaikan untuknya.
2. Pembelajaran Observasional
Pembelajaran observasional (observational learning) adalah
pembelajaran yang meliputi perolehan keterampilan, strategi, dan keyakinan
dengan cara mengamati orang lain. Pembelajaran observasional melibatkan
imitasi, tetapi tidak terbatas pada iti saja. Apa yang dipelajari biasanya
bukan merupakan tiruan yang persis sama dari apa yang dicontohkan, tetapi lebih
merupakan sebuah bentuk umum atau strategi yang sering kali diterapkan oleh
pengamat dalam cara-cara kreatif. Kapasitas untuk mempelajari pola-pola perilaku
dengan observasi meniadakan pembelajaran dengan cara coba-coba
(trial-and-error) yang memakan waktu lama. Dalam banyak contoh, pembelajaran
observasional membutuhkan waktu lebih sedikit dibandingkan pengondisian operan.
Studi
Klasik Boneka Bobo Sebuah
eksperimen klasik Bandura (1965) mengilustrasikan bagaimana pembelajaran
observasional dapat terjadi meskipun ketika seorang siswa melihat model yang
tidak diperkuat atau hukuman. Eksperimen tersebut juga mengilustrasikan
perbedaan antara pembelajaran dan pelaksanaan.
Anak-anak
TK dipilih secara acak dengan jumlah yang sama dan ditetapkan untuk menonton
salah satu dari tiga film di mana seseorang (mode) memukuli sebuah mainan
plastik berukuran orang dewasa yang dinamakan boneka bobo. Dalam film pertama,
aggressor diberikan penghargaan dengan permen, minuman ringan, dan pujian untuk
perilaku agresif. Dalam film kedua, agresor dikritik dan dipukul untuk perilaku
agresif. Dan di film ketiga, tidak ada konsekuensi untuk perilaku agresif
tersebut.
Kemudian,
setiap anak ditinggalkan sendiri di dalam ruangan yang berisi mainan, termasuk
sebuah boneka Bobo. Perilaku anak tersebut diamati melalui sebuah cermin satu
arah. Anak-anak yang menonton film di mana perilaku aggressor diperkuat (film
pertama) atau tidak dihukum menirukan perilaku aggressor lebih banyak
dibandingkan anak-anak yang menonton agresor mendapatkan hukuman. Seperti yang
dapat Anda duga, anak laki-laki lebih agresif dibandingkan anak perempuan. Akan
tetapi, maksud penting dari studi ini adalah bahwa pembelajaran observasional
terjadi sama ekstensifnya pada saat perilaku agresif yang dimodelkan tidak diperkuat dan saat diperkuat.
Hal
penting kedua dalam studi ini memfokuskan pada perbedaan antara pembelajaran
dan pelaksanaan. Hanya karena siswa tidak melaksanakan sebuah respons, tidak
berarti merasa tidak mempelajarinya. Dalam studi Bandura, ketika anak-anak
biberi suatu imbalan (stiker atau jus buah) untuk menirukan model tersebut,
perbedaan dalam perilaku imitatif anak-anak dalam ketiga kondisi menjadi
hilang. Bandura percaya bahwa ketika seorang anak mengamati perilaku, tetapi
tidak membuat respons yang dapat diamati, anak tersebut tetap mendapatkan respons
yang dimodelkan dalam bentuk kognitif.
Model
Pembelajaran Observasional Kontemporer Bandura Sejak awal masa eksperimennya,
Bandura (1986) telah berfokus pada penyelidikan proses-proses tertentu yang
terlibat dalam pembelajaran observasional. Proses ini meliputi perhatian,
penyimpanan, produksi dan motivasi:
·
Perhatian. Sebelum siswa dapat menirukan
tindakan seorang model, mereka harus mengikuti apa yang dilakukan atau
dikatakan oleh model tersebut. Perhatian model tersebut dipengaruhi oleh
sekumpulan besar karakteristik. Sebagai contoh, orang yang hangat, kuat dan
tidak biasa lebih menarik perhatian dibandingkan orang yang dingin, lemah dan
biasa. Siswa lebih berkemungkinan untuk menaruh perhatian kepada model
berstatus tinggi dibandingkan kepada model berstatus rendah. Dalam kebanyakan
kasus, guru adalah modl berstatus tinggi bagi siswa.
·
Memori. Untuk menirukan tindakan seorang
model, siswa harus mengodekan informasi tersebut dan menyimpannya dalam memori
sehingga mereka medapatkannya. Sebuah deskripsi verbal sederhana atau sebuah
cerita yang hidup dari apa yang dilakukan model membantu memori siswa. Sabagai
contoh, guru dapat berkata, “Saya menunjukan cara yang benar untuk melakukan
ini. Kamu harus melakukan langkah ini terlebih dahulu, langkah ini yang kedua,
dan langkah ini yang ketiga,” ketika ia mencontohkan cara untuk memecahkan
sebuah soal metematika. Sebuah video dengan karakter bewarna-warni yang
mendemonstrasikan pentingnya memikirkan perasaan siswa lain dapat diingat lebih
baik dibandingkan jika guru hanya memberi tahu siswa untuk melakukannya.
Karakter warna-warni ini merupakan inti popularitas dari Sesame Street di mata anak-anak. Memori siswa akan meningkat ketika
guru memberikan demonstrasi yang hidup, logis, dan jelas.
·
Produksi. Anak-anak dapat mengikuti seorang
model dan mengodekan dalam memori apa yang telah mereka lihat. Tetapi, karena
batasan-batasan dalam kemampuan motorik, mereka tidak mampu menirukan perilaku
model tersebut. Seorang anak berusia 13 tahun dapat menonton pemain basket
Lebron James dan pemain golf Michelle Wie melakukan keterampilan atletik mereka
yang sempurna, atau mengamati seorang pianis atau artis yang terkenal, tetapi
tidak mampu menirukan tindakan motorik mereka. Pengajaran, bimbingan dan
latihan dapat membantu anak-anak meningkatkan pelaksanaan motorik mereka.
·
Motivasi. Sering kali anak-anak mengikuti
apa yang dikatakan atau dilakukan seornag model, menyimpan informasinya dalam
meori, dan memproses keterampilan-keterampilan motorik untuk melakukan tindakan
tersebut, tetapi tidak termotivasi untuk melaksanakan perilaku yang dimodelkan.
Ini ditunjukan dalam studi klasik boneka Bobo dari Bandura ketika anak-anak
yang melihat model dihukum tidak menirukan tindakan agresif model tersebut.
Akan tetapi, ketika mereka kemudian diberikan penguat atau insentif (stiker
atau jus buah), mereka menirukan perilaku model.
Bandura
berpendapat bahwa penguatan tidak selalu dibutuhkan agar terjadi pembelajaran
observasional. Akan tetapi, jika anak tidak menirukan perilaku yang diinginkan,
ada empat jenis penguatan yang dapat membantu: (1) berikan penghargaan kepada
model; (2) berikan penghargaan kepada anak; (3) instruksikan anak untuk membuat
pernyataan-pernyataan yang memperkuat diri seperti “Bagus, saya dapat
melakukannya!” atau “Baik, saya telah melaukannya dengan baik untuk mengerjakan
sebagian besar hal ini dengan benar; sekarang jika saya terus mencoba, saya
akan menyelesaikan sisanya”; atau (4) perlihatkan bagaimana perilaku tersebut
membawa hasil yang memperkuat.
3. Pendekatan Perilaku Kognitif dan
Pengaturan Diri
Pendekatan Perilaku Kognitif Dalam pendekatan perilaku kognitif (cognitive behavior approach), penekannya
adalah untuk membuat siswa memantau, mengelola dan mengatur perilaku mereka
sendiri daripada membiarkannya dikendalikan oleh factor-faktor eksternal.
Metode
instruksi diri (self-instructional
method) adalah teknik perilaku kognitif yang diarahkan untuk mengajar individu
untuk memodifikasi perilaku mereka sendiri. Metode instruksi diri membantu
orang mengubah apa yang mereka katakana kepada diri mereka sendiri.
Berikut ini ada beberapa strategi
berbicara sendiri yang dapat digunakan siswa dan guru untuk mengatasi
situasi-situasi penuh tekanan secara lebih efektif (Meichenbaum, Turk, &
Burnstein, 1975):
·
Bersiaplah
untuk kegelisahan atau stres.
“Apakah yang harus aku lakukan?”
“Aku akan membuat rencana untuk menanganinya.”
“Aku akan memikirkan apa yang harus kulakukan.”
“Aku tidak akan khawatir. Khawatir tidak membantu apa-apa.”
“Aku punya banyak strategi berbeda yang dapat kugunakan.”
·
Hadapi
dan tangani kegelisahan dan stres.
“Aku mampu memenuhi tantangan.”
“Aku akan mengambil selangkah demi selangkah.”
“Aku dapat menanganinya. Aku harus rileks, bernapas
dalam-dalam, dan menggunakan salah satu strategi.”
“Aku tidak akan berpikir mengenai stress saya. Aku akan
berpikir mengenai apa yang harus aku lakukan.”
·
Tangani
perasaan-perasaan pada saat-saat kritis.
“Apakah yang harus kulakukan?”
“Aku tahu kegelisahanku dapat meningkat. Aku hanya harus
menjaga agar diri aku tetap terkendali.”
“Saat kegelisahan datang, Aku akan berhenti sejenak dan
tetap berfokus pada apa yang harus aku lakukan.”
·
Gunakan
pernyataan diri yang kuat.
“Bagus, aku dapat melakukannya.”
“Aku menanganunya dengan baik.”
“Aku tahu aku dapat melakukannya.”
“Tunggu hingga saya memberi tahu orang lain bagaimana saya
melakukannya!”
Pembelajaran
dengan Pengaturan Diri Pembelajaran
dengan pengaturan diri (self-regulatory learning) terdiri atas pembangkitan
diri dan pemantauan diri atas pikiran, perasaan, dan perilaku dengan tujuan
untuk mencapai suatu sasaran. Sasaran-sasaran ini dapat berupa sasaran akademik
(meningkatkan pemahaman saat membaca, menjadi penulis yang lebih terorganisasi,
belajar bagaimana untuk melakukan pengalihan, mengajaukan pertanyaan yang
relevan ) atau sasaran sosioemosional (mengendalikan kemarahan, bergaul dengan
lebih baik dengan teman sebaya). Karakteristik-karakteristik pelajar yang
melakukan pengaturan diri:
·
Menetapkan
sasaran untuk memperluas pengetahuan mereka dan mempertahankan motivasi mereka,
·
Sadar
akan emosi mereka dan mempunyai strategi untuk mengelola emosi mereka,
·
Secara
berkala memantau kemajuan mereka menuju suatu sasaran,
·
Menyempurnakan
atau merivisi strategi mereka berdasarkan kemajuan yang mereka buat, dan
·
Mengevaluasi
rintangan-rintangan yang mungkin timbul dan melakukan adaptasi-adaptasi yang
diperlukan.
Barry
Zimmerman, Sebastian Bonner, dan Robert Kovach (1996) mengembangkan sebuah
model untuk mengubah siswa dengan pengaturan diri rendah menjadi siswa yang
melakukan strategi beberapa langkah ini:
1) Evaluasi dan pemantauan diri,
2) Penetapan tujuan dan perencanaan
strategis,
3) Melaksanakan rencana dan pemantauan,
serta
4) Pemantauan hasil dan penyempurnaan
strategi.
Zimmerman
dan rekan-rekannya mendeskripsikan seorang siswa kelas tujuh yang lemah dalam
pelajaran sejarah dan menerapkan model pengaturan diri mereka terhadap situasi
siswa tersebut. Pada langkah ke-1, ia melakukan evaluasi diri terhadap studi
dan mempersiapkan ujiannya dengan membuat catatan terperinci mengenainya. Guru
memberinya beberapa pedoman untuk membuat catatan tersebut. Setelah beberapa
minggu, siswa tersebut menyerahkan catatan tersebut dan melacak hasil ujiannya
yang buruk pada rendahnya pemahaman atas meteri bacaan yang sulit.
Pada
langkah ke-2, siswa tersebut menetapkan tujuan. Tujuan dalam kasus ini adalah
untuk memperbaiki pemahaman dalam membaca dan merencanakan cara untuk mencapai
sasaran tersebut. Guru membantunya dalam membagi-bagi sasaran tersebut menjadi
beberapa komponen, seperti menemukan ide pokok dan menetapkan sasaran spesifik
untuk memahami serangkaian paragraf daalm buku teksnya. Guru juga memberi tahu
siswa mengenai strategi, seperti terlebih dahulu berfokus pada kalimat pertama
dari setiap paragraf kemudian menelaah yang lainnya, sebagai cara untuk
mengidentifikasi ide pokok. Dukungan lain yang dapat ditawrkan oleh guru adalah
orang dewasa atau teman sebaya yang membimbing dalam pemahaman membaca jika
tersedia.
Pada
langkah ke-3, siswa melaksanakan rencana tersebut dan mulai memantau
kemajuannya. Pada awalnya, ia mungkin membutuhkan bantuan dari guru atau tutor
dalam mengidentifikasi ide pokok dalam bacaan. Umpan balik ini dapat
membantunya memantau pemahaman membacanya secara lebih efektif oleh dirinya
sendiri.
Pada
langkah ke-4, siswa memantau kemajuannya dalam hal pemahaman membaca dengan
mengevaluasi apakah hal tersebut telah memiliki dampak pada hasil
pembelajarannya. Hal yang paling penting, apakah kemajuannya dalam pemahaman
membaca mengakibatkan hasil yang lebih baik pada ujian sejarah?
4. Mengevaluasi Pendekatan Kognitif
Sosial
Pendekatan
sosial kognitif telah memberi kontribusi penting untuk mendidik anak. Penekanan
dari pendekatan perilaku kognitif pada instruksi diri, berbicara pada diri
sendiri, dan pembelajaran dengan pengaturan diri memberikan pergeseran penting
dari pembelajaran yang dikendalikan oleh orang lain menjadi tanggung jawab
untuk pembelajaran diri sendiri (Watson & Tharp, 2007). Strategi-strategi
yang dilaksanakan sendiri ini dapat secara signifikan memajukan pembelajaran
siswa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan ilmu perilaku dan kognitif sosial
sangat efektif diimplementasikan didalam pembelajaran, baik dengan memberikan
penguatan (penghargaan) kepada siswa-siswa yang mempunyai kemampuan yang lebih,
atau pun memberikan hukuman kepada siswa-siswa yang melakukan pelanggaran.
B. Saran
Melalui
makalah ini kami memberikan saran kepada para guru maupun calon guru agar dapat
menerapkan pendekatan ilmu perilaku dan kognitif sosial dalam proses
pembelajaran di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Santrock, JohnW.
2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Salemba Humanika.
haii kaa.. makasih banget sangat membantu kebetulan saya nyari dari buku santrock juga ^^ *btw saya juga dari undana ... salken yaa.. sukses ngebloggernya ^^
BalasHapus