Jumat, 15 April 2016

MAKALAH PENDEKATAN ILMU PERILAKU DAN KOGNITIF SOSIAL

                                MAKALAH psikologi pendidikan
Pendekatan ilmu perilaku dan kognitif sosial






Oleh
Kelompok VI
Nama            : Siti Saida Pella                (1501160021)
                      Kristovorus Dawo Wawo     (1501160029)
                      Meri Aryani Leo Age          (1501160023)
                      
Semester      : II










PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
kupang
2016/2017


KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Pendekatan Ilmu Perilaku dan Kognitif Sosial ” yang dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan tahun ajaran 2016/2017.
            Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih bagi seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan Makalah ini dan berbagai sumber yang telah penulis pakai sebagai data dan fakta pada Makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna,oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.

Kupang,03 April 2016

     Penulis



























DAFTAR ISI
            KATA PENGANTAR
            DAFTAR ISI

            BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
D.    Manfaat Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A.    Definisi Pembelajaran
B.     Pendekatan Ilmu perilaku Terhadap Pembelajaran
C.     Analisis Ilmu Perilaku Terapan Dalam Pendidikan
D.    Pendekatan Kognitif Sosial Terhadap Pembelajaran

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran

DAFTAR PUSTAKA













BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                        Pendekatan Perilaku merupakan pendekatan tingkah laku yang subjek masalahnya berfokus pada segala sesuatu yang dapat diamati secara langsung bukan pada proses mental seperti penalaran, perasaan dan motif-motif yang tidak  dapat diamati secara langsung.
                        Ada dua pandangan ilmu perilaku yakni pengondisian klasik (classical conditioning) dan pengondisian operan (operant conditioning) yang menekankan pada assosiative learaning yaitu pembelajaran dalam membuat suatu asosiasi atau hubungan baru dari dua peristiwa yang berbeda.
                        Sedangkan pendekatan pembelajaran kognitif lebih berfokus pada pikiran. Ada empat pendekatan kognitif utama pembelajaran yakni kognitif sosial yaitu menekankan bagaimana faktor-faktor perilaku lingkungan dan individu berinteraksi untuk mempengaruhi pembelajaran, pemprosesan informasi kognitif yakni berfokus pada bagimana anak-anak memproses informasi melalui perhatian, ingatan, pemikiran, dan proses-proses kognitif lainnya, konstruktivis kognitif menekankan pada konstruksi kognitif anak atas pengetahuan dan pemahaman, dan konstrutif sosial yakni menekankan pada proses kolaborasi dengan orang lain untuk meghasilkan pengetahuan dan pemahaman.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari pembelajaran?

2.      Apa sajakah pendekatan ilmu perilaku terhadap pembelajaran?

3.      Bagaimana analisis ilmu perilaku terapan dalam pendidikan?
4.      Apa sajakah pendekatan kognitif sosial terhadap pembelajar?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari pembelajaran.
2.      Untuk mengetahui pendekatan ilmu perilaku terhadap pembelajaran.
3.      Untuk mengetahui analisis ilmu perilaku terapan dalam pendidikan.
4.      Untuk mengetahui pendekatan kognitif sosial terhadap pembelajaran.

D.    Manfaat Penulisan
1.      Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari pembelajaran.
2.      Mahasiswa dapat mengetahui pendekatan ilmu perilaku terhadap pembelajaran.
3.      Mahasiswa dapat mengetahui analisis ilmu perilaku terapan dalam pendidikan.
4.      Mahasiswa dapat mengetahui pendekatan kognitif sosial terhadap pembelajaran.



























BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI PEMBELAJARAN
            Pembelajaran (learning) dapat didefinisikan sebagai pengaruh yang relative permanen terhadap perilaku dan pengetahuan, serta keterampilan-keterampilan berpikir yang diperoleh melalui pengalaman.
            Pendekatan terhadap pembelajaran yaitu Behavorisme (ilmu perilaku) dan kognitif. Behaviorisme adalah suatu pandangan bahwa perilaku seharusnya dapat dijelaskan oleh pengalaman-pengalaman yang dapat diamati.

B.     PENDEKATAN ILMU PERILAKU TERHADAP PEMBELAJARAN
            Pendekatan ilmu perilaku menekankan pentingnya anak-anak dalam membuat hubungan antara pengalaman dan perilaku. Pendekatan ilmu perilaku ada dua yaitu pengondisian klasik dan pengondisian operan:
1.      Pengondisian Klasik
            Konsep pengondisian klasik di kembangkan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Pengondisian klasik (classical conditioning) adalah suatu bentuk pembelajaran asosiatif dimana sebuah stimulus netral diasosiasikan dengan stimulus yang berarti dan mendapatkan kapasitas untuk mendatangkan respon yang sama.
            Ada dua jenis stimulus dan dua jenis respons teori pengondisian klasik dari Pavlov : stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), respons yang tidak terkondisi (unconditioned response-UCR), stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus-CS), dan respon yang terkondisi (conditioned response-CR).
            Stimulus yang tidak terkondisi adalah sebuah stimulus yang secara otomatis menghasilkan sebuah respons tanpa pembelajaran apa pun terlebih dulu. Respons yang tidak terkondisi adalah sebuah respons yang tidak dipelajari yang secara otomatis didatangkan oleh stimulus yang tidak terkondisi (UCR didatangkan oleh UCS). Dalam eksperimen Pavlov, keluarnya air liur oleh anjing sebagai respons terhadap makanan adalah UCR. Stimulus terkondisi adalah stimulus yang sebelumnya bersifat netral yang akhirnya mendatangkan sebuah respons yang terkondisi, setelah diasosiasikan dengan stimulus yang tidak terkondisi (CS mendatangkan CR setelah diasosiasikan dengan UCS). Stimulus-stimulus yang dikondisikan dalam eksperimen Pavlov diantaranya adalah berbagai pandangan dan suara yang terjadi sebelum anjing tersebut benar-benar mengonsumsi makanan, seperti suara pintu terbuka sebelum makanan ditempatkan dalam piring anjing tersebut. Respons yang terkondisi adalah sebuah respons yang dipelajari terhadap stimulus yang terkondisi, yang terjadi setelah UCS-CS dipasangkan.
                                    Pengondisian klasik dapat terlibat dalam pengalaman anak-anak yang                     positif maupun negative di dalam kelas. Hal-hal yang terjadi di dalam sekolah                   yang menyenangkan bagi anak bisa disebabkan karena mereka telah terkondisi                     secara klasik, misalnya adalah lagu favorit, perasaan bahwa ruang kelas adalah                   aman dan tempat yang menyenangkan, serta guru yang hangat dan mengasuh.                         Sebuah lagu mungkin saja netral bagi anak hingga anak tersebut bergabung                         dengan teman-teman sekelas lainnya untuk menyanyikannya dengan perasaan                     positif yang hadir bersamanya.
                                                Anak-anak dapat mengembangkan rasa takut akan ruang kelas jika mereka mengasosiasikan ruang kelas dengan kritik, jadi kritik menjadi sebuah CS untuk rasa takut. Pengondisian klasik juga bisa jadi terlibat dalam sikap          gelisah saat menghadapi ujian. Sebagai conntoh, seorang anak gagal lalu dikritik, keadaan tersebut mengakibatkan kegelisahan; setelah itu, anak     tersebut mengasosiasikan ujian dengan kegelisahan, sehingga ujian-ujian     selanjutnya dapat menjadi CS untuk rasa gelisah.
                                    Sejumlah masalah kesehatan anak juga bisa jadi terlibat dengan       pengondisian klasik. Keluhan-keluhan fisik tertentu seperti asma, sakit kepala,   dan tekanan darah tinggi sebagian mungkin dikarenakan pengondisian    klasik.Kita biasanya megatakan bahwa masalah-masalah kesehatan seperti itu           dikarenakan oleh stress. Meskipun demikian, sering kali yang terjadi adalah            stimulus tertentu, seperti kritik tajam dari orang tua atau guru, merupakan     stimulus terkondisi untuk respons fisiologis. Seiring waktu, frekuensi dari            respons-respons fisiologis tersebut dapat menghasilkan masalah kesehatan.     Kritik yang terus-menerus dari seorang guru terhadap siswa dapat   menyebabkan siswa tersebut mengalami sakit kepa la, ketegangan otot, dan      lainnya. Segala sesuatu yang berasosiasi dengan guru, seperti latihan pembelajaran di kelas dan pekerjaan rumah, dapat memicu stres siswa dan selanjutnya dihubungkan dengan sakit kepala atau respons-respons fisiologis   lainnya.
                                    Proses-proses dalam pengondisian klasik: Generalisasi, Diskriminasi,                       dan Pelemahan.
                        Generalisasi dalam pengondisian klasik melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk menghasilkan respons serupa. Pavlov menemukan bahwa anjing tersebut juga merespons suara-suara lainnya, seperti peluit. Semakin suara tersebut mirip dengan bel, semakin kuat respons anjing tersebut. Seorang siswa dikritik untuk hasil yang buruk pada ujian biologi. Ketika siswa tersebut mulai mempersiapkan diri untuk ujian kimia, ia juga menjadi sangat gugup karena kedua subjek tersebut berhubungan dekat dalam ilmu pengetahuan. Jadi, kegelisahan siswa tersebut menggeneralisasi dari melakukan ujian dalam satu subjek ke melakukan ujian dalam subjek lainnya.
                      Diskriminasi dalam pengondisian klasik terjadi ketika organisme      merespons stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya (Murphy,         Baker, & Fouguet, 2001). Untuk menghasilkan diskriminasi, Pavlov memberikan makanan kepada anjing hanya setelah membunyikan bel, tidak           setelah suara-suara lainnya. Setelah itu, anjing tersebut hanya merespons     kepada bel. Dalam kasus siswa yang mengambil ujian dalam kelas yang         berbeda, ia tidak menjadi sama gelisahnya dalam melakukan ujian bahasa        Inggris atau ujian sejarah karena keduanya adalah area subjek yang sangat           berbeda.
                      Pelemahan (extincition) dalam pengondisian klasik melibatkan proses          melemahnya stumulus yang terkondisi (CR) dengan menghilangkan atau tidak adanya stimulus yang tidak terkondisi (UCS). Dalam satu sesi, Pav;ov        membunyikan bel secara berulang-ulang, tetapi tidak memberikan makanan        kepada anjing tersebut. Akhirnya, anjing tersebut berhenti mengeluarkan air           liur pada saat bunyi bel. Sama halnya dengan siswa yang menjadi gelisah     ketika melakukan ujian mulai mendapatkan hasil yang lebih baik pada ujian-        ujiannya sehingga kegelisahannya akan berkurang.
                      Systematic desensitization adalah metode yang didasarkan pada      pengondisian klasik yang mengurangi kesemasan dengan membuat individu mengasosiasikan relaksasi mendalam dengan visualisasi dari situasi-situasi     yang meningkatkan kecemasan. Bayangkanlah Anda mempunyai seorang   siswa yang sangat gugup ketika berbicara di depan kelas. Tujuan dari Systematic desensitization adalah membuat siswa tersebut mengasosiasikan      berbicara di depan umum dengan relaksasi, seperti berjalan di pantai yang           sunyi, bukan mengasosiasikan dengan kecemasan. Dengan menggunakan   teknik visualisasi, siswa tersebut dapat mempraktikan Systematic      desensitization dua minggu sebelum tampil di depan kelas, kemudian      seminggu sebelumnya, empat hari sebelumnya, dua hari sebelumnya, sehari           sebelumnya, pagi hari sebelum tampil, pada saat memasuki ruangan tempat ia         haris berbicara di depan umum, pada saat menuju podium, dan selama          berbicara di depan kelas.
                      Desensitization melibatkan sejenis pengondisian balik           (counterconditioning) (McNeil, 2000). Usaha membuat perasaan menjadi    rileks seperti yang dibayangkan siswa (UCS) menghasilkan relaksasi (UCR).       Isyarat-isyarat yang menghasilkan kecemasan (CS) oleh si siswa diasosiasikan           dengan perasaan yang membuatnya rileks. Relaksasi seperti ini tidaklah tepat         jika digunakan untuk menurunkan kecemasan. Dengan dipasangkannya isyarat     lemah yang menghasilkan kecemasan dengan relaksasi dari awal proses dan          secara bertahap menaikkannya secara bertingkat (dari dua minggu sebelum        tampil hingga naik podium untuk berbicara di depan kelas), maka semua     isyarat yang menghasilkan kecemasan akan menghasilkan relaksasi (CR).
                      Mengevaluasi Pengondisian Klasik pengondisian klasik membantu           kita memahami beberapa aspek dari pembelajaran secara lebih baik             dibandingkan yang lainnya. Pengondisian klasik berhasil menjelaskan             bagaimana stimulus netral diasosiasikan dengan respons-respons yang tidak           dipelajari dan tidak disengaja (LoLordo, 2000; Miller, 2006). Cara ini         khususnya berguna dalam memahami kecemasan dan ketakutan siswa.
2.      Pengondisian Operan
                        Pengondisian operan (operant conditioning) juga disebut pengondisian instrumental (instrumental conditioning) adalah suatu bentuk pembelajaran di mana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam berbagai kemungkinan terjadinya perilaku tersebut. Tokoh utama pengondisian operan adalah B. F. Skinner, yang pandangannya dibangun dari aliran connectionist E. L. Thorndike.
a.       Hukum Akibat Thorndike      
                        Psikologi Amerika, E. L. Thorndike (1906), mempelajari kucing dalam kotak teka-teki. Thorndike menempatkan seekor kucing yang lapar di dalam sebuah kotak dan meletakan sepotong ikan di luar. Untuk keluar dari kotak, kucing tersebut harus belajar bagaimana cara membuka grendel di dalam kotak. Pertama-tama, kucing tersebut membuat sejumlah respons yang tidak efektif. Ia mencakar atau menggigit palang dan menjulurkan kakinya melalui lubang. Akhirnya, kucing tersebut secara tidak sengaja menginjak pedal yang melepaskan pengait pintu. Ketika kucing tersebut dikembalikan ke dalam kotak, ia melakukan aktivitas-aktivitas tak terarah yang sama dengan sebelumnya hingga ia menginjak pedal sekali lagi. Pada percobaan-percobaan berikutnya, kucing tersebut membuat gerakan tak terarah yang semakin lama semakin berkurang, hingga ia langsung mencakar pedal untuk membuka pintu. Hukum Akibat (law of effect) Thorndike menyatakan bahwa perilaku yang diikuti oleh hasil positif akan diperkuat dan perilaku yang diikuti oleh hasil negative akan diperlemah.
b.      Pengondisian Operan Skinner
            Pengondisian operan, di mana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam berbagai kemungkinan terjadinya perilaku tersebut, adalah inti dari ilmu perilaku B. F. Skinner (1938). Konsekuensi-penghargaan atau hukuman-bergantung pada perilaku organisme.
c.       Pengutan dan Hukuman
Ø  Penguatan (reinforcement) atau penghargaan (reward) adalah suatu konsekuensi yang meningkatkan peluang terjadinya sebuag perilaku. Sebagai contoh, Anda dapat mengatakan kepada salah satu siswa Anda, “Selamat, saya benar-benra bangga dengan kisah yang kamu tulis.” Jika siswa tersebut berkerja lebih keras dan menulis sebuah kisah yang bahkan lebih bagus lagi disaat mendatang. Komentar positif Anda dikatakan memperkuat atau menjadi penghargaan bagi perilaku menulis siswa. Memperkuat perilaku sama artinya dengan menegaskan perilaku. Dua bentuk dari penguatan ini adalah pengutan positif dan penguatan negative. Dalam penguatan positif (positive reinforcement), frekuensi dari sebuah respons meningkat karena diikuti oleh sebuah stimulus yang mengandung penghargaan, seperti dalam contoh di mana komentar positif guru meningkatkan perilaku menulis siswa. Sama halnya, memuji orang tua untuk datang pada pertemuan orang tua guru, dapat mendorong mereka untuk datang kembali.
Sebaliknya, dalam pengutan negative (negative reinforcement), frekuensi dari respons meningkat karena diikuti oleh stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan (Frieman, 2002). Sebagai contoh, seorang ayah mengomeli anak laki-lakinya agar ia mengerjakan pekerjaan rumah. Ia terus mengomel. Akhirnya, anak tersebut menjadi lelah mendengar omelan tersebut dan mengerjakan pekerjaan rumahnya. Respons anak tersebut (mengerjakan pekerjaan rumahnya) menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan (omelan).
Ø  Hukuman (punishment) adalah suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya sebuah perilaku. Sebagai contoh, jika Anda menunjukan muka tidak senang terhadap siswa yang mengobrol dalam kelas dan tindakan mengobrol siswa-siswa menjadi berkurang, muka ketidaksenangan Anda merupakan hukuman bagi tindakan tersebut.
d.      Generalisasi, Diskriminasi, dan Extinction
            Generalisasi dalam pengondisian operan berarti memberikan respons           yang sama terhadap stimulus yang serupa. Focus perhatiannya adalah tingkat di mana perilaku disamaratakan dari satu situasi ke situasi yang lain. Sebagai contoh, jika seorang guru memuji siswa untuk mengajukan pertanyaan yang bagus yang berhubungan dengan bahasa inggris, akankah hal ini menyamaratakan untuk kerja keras dalam sejarah, matematika, dan subjek-subjek lainnya?
            Diskriminasi dalam pengondisian operan, melibatkan perbedaan antara stimulus-stimulus atau kejadian-kejadian lingkungan. Sebagai contoh, seorang siswa tahu bahwa wadah di meja guru yang bertuliskan “Matematika” adalah tempat ia harus meletakkan tugas metematika hari ini, sementara wadah lainnya yang bertuliskan “Bahasa Inggris” adalah tempat tugas bahasa Inggris hari ini harus diletakan. Hal ini mungkin kedengaran terlalu sederhana, tetapi penting karena dunia siswa diisi dengan stimulus-stimulus diskriminatif sejenis. Di sekitar sekolah, stimulus-stimulus diskriminatif ini termasuk tanda yang menunjukkan “Dilarang Masuk”, “Berbaris di Sini”, dan seterusnya.
            Dalam pengondisian operan, extinction  terjadi ketika sebuah respons yang sebelumnya diperkuat tidak lagi diperkuat dan responsnya berkurang. Dalam kelas, penggunaan extinction yang paling umum bagi guru adalah menghentikan perhatian dari sebuah perilaku yang dipertahankan oleh adanya perhatian tersebut. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus perhatian, jika seorang guru kurang hati-hati justru akan memperkuat perilaku seorang siswa yang suka mengganggu, misalnya siswa yang mencubit siswa lain lalu guru buru-buru berbicara dengan pelaku. Jika hal ini terjadi secara rutin, siswa akan belajar bahwa mencubit siswa lain merupakan sebuah cara ampuh untuk mendapatkan perhatian guru. Jika guru menghentikan perhatiannya, tindakan siswa tersebut dapat dihilangkan.
C.     ANALISIS ILMU PERILAKU TERAPAN DALAM PENDIDIKAN
1.      Definisi Analisis Ilmu Perilaku Terapan
                        Analisis perilaku terapan adalah penerapan prinsip pengondisian operan untuk mengubah perilaku manusia. Aplikasi analisis perilaku terapan sering kali menggunakan serangkaian langkah (Hayes, 2000). Langkah ini biasanya dimulai dengan beberapa observasi umum dan kemudian menentukan perilaku yang secara spesifik yang perlu diubah, dan mengamati kondisi antesedennya. Kemudian ditentukan tujuan behavioralnya, memperkuat dan menghukum perilaku yang dipilih, melakukan program manajement perilaku, dan megevaluasi kesuksesan atau kegagalan program tersebut.
2.      Meningkatkan Perilaku yang Diinginkan
1)      Memilih Penguat yang Efektif
            Analisis perilaku terapan menganjurkan agar guru mencari tahu penguat apa yang paling baik buat anak yakni mengindividualisasikan penggunaan penguat tertentu. Untuk satu murid mungkin bisa menggunakan pujian, untuk murid lain bisa memberi kesempatan padanya untuk melakukan kegiatan yang disukainya, untuk murid lain bisa dengan membiarkan murid bermain, dan untuk anak lainnya bisa dengan mengajaknya menjelajahi internet. Untuk mencari penguat yang paling efektif bagi seorang anak, Anda bisa meneliti apa yang memotivasi anak di masa lalu (sejarah penguatan), apa yang ingin dilakukan murid tapi tidak mudah diperolehnya, dan persepsi anak terhadap manfaat atau nilai penguat.
             Beberapa analis perilaku terapan merekomendasikan agar guru bertanya kepada anak tentang penguat apa yang mereka sukai (Raschke, 1981). Rekomendasi lainya adalah menggunakan penguat baru untuk mengurangi kebosanan anak. Penguat alamiah seperti pujian dan privilese, biasanya lebih dianjurkan ketimbang penguat imbalan materi, seperti permen, mainan dan uang (Hall & Hall, 1998).
            Penguat yang paling sering dipakai guru adalah aktivitas. Prinsip Premack, yang ditemukan oleh David Premack menyatakan bahwa aktivitas berprobabilitas tinggi dapat berfungsi sebagai penguat aktivitas berpropabilitas rendah. Prinsip Premack akan bekerja ketika guru murid SD berkata kepada muridnya, “Jika kamu selesai mengerjakan tugas menulis, kamu bisa main game di komputer” atau seorang guru berkata kepada anak didiknya, “JIka kau mau mengambil bata itu, maka kamu bisa membantu Bu Manson untuk menyiapkan camilan.” Penggunaan prinsip Premack tidak dibatasi hanya pada satu anak saja. Prinsip ini juga bisa digunakan untuk seluruh kelas. Guru bisa mengatakan kepada semua muridnya di kelas, “Jika kelas ini bisa menyerahkan PR pada hari Jum’at, kita akan mengadakan wisata minggu depan.”


2)      Menjadikan Penguat Kontingen dan Tepat Waktu
            Agar sebuah penguat dapat efektif, guru harus memberikan hanya setelah murid melakukan perilaku tertentu. Analisis perilaku terapan sering kali menganjurkan agar guru membuat pernyataan “Jika…maka” kepada anak. Misalnya, “Hadi, apabila kamu bisa menyelesaikan soal matematika, maka kamu boleh bermain.” Ini menjelaskan pada Hadi apa yang harus dilakukannya agar memperoleh penguat itu.
            Analis perilaku terapan mengatkan bahwa adalah penting untuk membuat penguat itu kontingen pada perilaku anak. Artinya, anak harus melakukan suatu perilaku agar mendapatkan imbalan. Apabila hadi tidak menyelesaikan sepuluh soal matematika tapi guru mengizinkannya bermain, maka berarti tidak ada kontingensi di sini.
            Penguat akan lebih efektif, jika diberikan tepat pada waktunya, sesegera mungkin setelah anak  menunjukan perilaku yang diharapkan (Umbreit, dkk, 2007). Ini membantu anak untuk melihat hubungan kontingensi (contingency) antara penghargaan dan perilaku mereka. Jika anak menyelesaikan perilaku sasaran (seperti menyelesaikan sepuluh soal matematika pada pagi hari) dan guru tidak memberikan waktu bermain kepada anak sampai sore hari, anak mungkin mempunyai kesulitan untuk  membuat hubungan kontingensi.
3)      Pilih Jadwal Terbaik untuk Penguatan
            Penguatan parsial melibatkan penguatan respons hanya sebagian waktu. Skinner (1957) mengembangkan konsep jadwal penguatan (reinforcement schedule), yang merupakan daftar waktu penguatan parsial yang menentukan kapan sebuah respons akan diperkuat. Keempat jadwal penguatan utama adalah rasio tetap, rasio variabel, interval tetap, dan interval variabel.
            Pada jadwal rasio tetap (fixed-ratio schedule), suatu perilaku diperkuat setelah adanya respons dalam jumlah yang telah ditetepkan. Sebagai contoh, seorang guru dapat memberikan pujian kepada anak hanya setelah setiap empat respons yang benar, tidak setelah setiap respons. Pada jadwal rasio variabel (variable-ratio schedule), suatu perilaku diperkuat setelah sejumlah angka rata-rata tertentu, tetapi dilakukan secara tidak terduga. Sebagai contoh, pujian seorang gurur dapat mempunyai rata-rata diberikan setia respons kelima tetapi diberikan setelah respons benar kedua, setelah delapan respons benar berikutnya, setelah tujuhrespons benar berikutnya, dan setelah tiga respons benar berikutnya.
            Jadwla interval ditentukan oleh jumlah waktu yang terlewati sejak perilaku terakhir diperkuat. Pada jadwal interval tetap (fixed-interval schedule), respons yang sesuai pertama diperkuat setelah sejumlah waktu tetap tertentu. Sebagai contoh, seorang gurur dapat memberikan pujian kepada seorang anak untuk mengajukan pertanyaan bagus pertama setelah dua menit telah berlalu atau memberikan sebuah sebuag kuis setiap minggu. Pada jadwal interval variabel (variable-interval schedule), sebuah respons diperkuat setelah sejumlah waktu variabel telah berlalu. Pada jadwal ini, guru dapat memuji pertanyaan anak setelah tiga menit telah berlalu, kemudian setelah lima belas menit berlalu, setelah tujuh menit berlalu, dan seterusnya. Memberikan sebuah kuis dengan interval yang tidak merata adalah contoh lain dari jadwal interval variabel.
            Pengaruh dari penggunaan jadwal-jadwal penguatan terhadap anak
Ø  Pembelajaran awal biasanya lebih cepat dengan penguatan berkelanjutan di bandingkan parsial.
Ø  Anak-anak dengan jadwal tetap menunjukan ketekunan yang lebih rendah dan extinction respons yang lebih cepat dibandingkan anak-anak dengan jadwal variabel.
4)      Pertimbangan untuk Membuat Kontrak
            Membuat kontrak (contracting) melibatan membuatan ketergantungan penguatan dalam tulisan. Jika masalah timbul dan anak-anak tidak memegang janji, guru dapat menunjukan kontrak yang telah mereka setujui. Analis perilaku terapan menyarankan bahwa kontarak kelas seharusnya merupakan hasil masukan dari guru maupun siswa. Kontrak kelas mempunayi pernyataan “Jika….maka” dan ditandatangani oleh guru dan anak, kemudian diberi tanggal. Seorang guru dan anak dapat menyetujui sebuah kontrak yang mengatakan bahwa anak setuju untuk menjadi warga yang baik dengan melakukan __________, dan __________. Sebagai bagian dari kontrak, guru setuju untuk ___________ jika siswa berperilaku seperti ini. Dalam beberapa contoh, guru meminta anak lainnya untuk menandatangani kontrak tersebut sebagai saksi terhadap persetujuan tersebut.
5)      Gunakan Penguatan Negatif secara Efektif
            Seorang guru yang mengatakan, “Thomas, kamu harus tetap duduk di bangkumu dan menyelesaikan karanganmu sebelum kamu bergabung dengan siswa yang lain untuk membuat poster,” sedang menggunakan penguatan negative. Kondidsi negative untuk tetap tinggal di tempat duduknya sementara anak-anak lainnya melakukan sesuatu yang menyenangkan akan hilang jika Thomas menyelesaikan karangan yang harus ia selesaikan lebih awal.
            Penggunaan penguatan negative mempunayi beberapa kekurangan. Kadang-kadang ketika guru mencoba menggunakan strategi ilmu perilaku ini, anak-anak menjadi marah, berlari keluar ruangan, atau mengahancurkan barang-barang. Hasil negative ini paling sering terjadi ketika anak-anak tidak memiliki keterampilan atau kemampuan utuk melakukan apa yang diminta oleh guru terhadap mereka.
6)      Gunakan Arahan dan Pembentukan
            Siswa dapat belajar untuk membedakan diantara stimulus-stimulus atau kejadian-kejadian melalui penguatan diferensial. Dua strategi penguatan diferensial yang tersedia bagi guru adalah arahan dan pembentukan (Alberto & Troutman, 2006).
a.       Arahan
            Arahan (prompt) merupakan stimulus yang ditambahkan atau isyarat yang diberikan tepat sebelum sebuah respons yang meningkatkan kemungkinan respons tersebut akan terjadi. Seorang gurur bahasa yang menunjukan sebuah kartu dengan huruf w-e-r-e dan mengatakan, “Not was, but…” sedang menggunakan arahan verbal. Seorang guru seni yang menempatkan label cat air pada sekelompok cat dan cat minyak pada cat lainnya juga menggunakan arahan. Arahan membantu membuat perilaku terjadi. Setelah siswa secara konsisten memperlihatkan respons yang benar, arahan tidak lagi dibutuhkan.
            Instruksi dapat digunakan sebagai arahan (Alberto & Troutman, 2006). Sebagai contog, ketika jam pelajarankesenian akan berakhir, guru mengatakan, “Marilah kita memulai pelajaran membaca.” Jika siswa-siswa tetap mengerjakan kesenian, guru menambahkan arahan, “Baik, sisihkan peralatan seni kalian dan ikut saya ketempat membaca.” Beberapa arahan berbentuk petunjuk, seperti ketika guru mengatakan kepada siswa untuk berbaris “dengan tenang”. Papan buletin adalah lokasi yang mum bagi arahan, dengan sering menampilkan pengingat mengenai aturan-aturan kelas, tanggal penyelesaian proyek, lokasi pertemuan, dan seterusnya. Beberapa arahan dihadirkan secara visual, seperti ketika guru menempatkan tangannya di telingan ketika seorang siswa berbicara kurang keras.
b.      Pembentukan
            Ketika guru mengunakan arahan, mereka berasumsi bahwa para siswa dapat menampilkan perilaku yang diinginkan. Akan tetapi, kadang-kadang siswa tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Dalam kasus ini, pembentukan diperlukan. Pembentukan (shaping) melibatkan pengajaran perilaku-perilaku baru dengan memperkuat perkiraan secara berturut-turut terhadap sebuah perilaku sasaran tertentu. Pada awalnya, Anda memperkuat respons apa pun yang mencerminkan perilaku sasaran. Setelahnya, Anda memperkuat sebuah respons yang mencerminkan sasaran secara lebih dekat, dan seterusnya hingga siswa menampilkan perilaku sasaran, dan kemudian Anda memperkuatnya (Chance, 2006).
            Andaikan Anda mempunyai seorang siswa yang tidak pernah menyelesaikan 50 persen atau lebih dari tugas matematikanya. Anda menetapkan perilaku sasaran pada 100 persen, tetapi Anda memperkuat siswa Anda untuk perkiraan secara brturut-turut menuju sasaran. Anda pada awalnya dapat memberikan penguat (sejenis hak istimewa, misalnya) ketika ia menyelesaikan 60 persen, kemudian saat berikutnya hanya ketika ian menyelesaikan 70 persen, kemudian 80,90 dan akhirnya 100 persen.
            Pembentukan dapat menjadi alat yang penting untuk guru di kelas karena sebagian besar siswa membutuhkan penguatan di dalam mencapai sebuah tujuan belajar. Pembentukan terutama dapat membantu untuk tugas-tugas pembelajaran yang membutuhkan waktu dan ketekunan untuk menyelesaikannya. Tetapi, ketika menggunakan pembentukan, ingatlah untuk menerapkannya hanya jika jenis penguatan positif lainnya dan arahan tidak berhasil. Juga ingat untuk bersabar. Pembentukan dapat membutuhkan penguatan atas sejumlah langkah kecil menuju sebuah perilaku sasaran, dan ini dapat terjadi hanya melalui periode waktu yang panjang.
3.      Mengurangi Perilaku yang Tidak Diinginkan
            Ketika para guru ingin mengurangi perilaku anak yang tidak diinginkan (seperti mengganggu, memonopoli diskusi kelas, atau bersikap sok tahu terhadap guru), apa sajakah pilihan mereka? Analis perilaku terapan Paul Alberto dan Anne Troutman (2006) merekomendasikan untuk menggunakan langkah-langkah berikut:
1)      Gunakan penguatan diferensial.
2)      Hentikan penguatan (extinction).
3)      Hilangkan stimulus yang diinginkan.
4)      Hadirkan stimulus yang tidak disukai (hukuman).
                        Jadi, pilihan pertama guru haruslah penguatan difernsial. Hukuman seharusnya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir dan selalu dibarengi dengan pemberian informasi kepada anak mengenai perilaku yang pantas. 
1)      Gunakan penguatan diferensial
                        Dalam penguatan diferensial, guru memperkuat perilaku yang lebih pantas atau yang tidak sesuai dengan yang dulakukan anak. Sebagai contoh, guru dapat memperkuat seorang anak untuk melakukan aktivitas pembelajaran dengan computer dari pada memainkan game, untuk bersikap sopan daripada menginterupsi, untuk tetap duduk dari pada berlarian di kelas, atau untuk mengerjakan pekerjaan rumah tepat waktu dari pada terlambat.
2)      Hentikan penguatan (extinction)
                        Strategi untuk menghentikan penguatan melibatkan penarikan penguatan positif dari perilaku anak yang tidak pantas. Banyak perilaku yang tak pantas secara tidak sengaja terpelihara oleh penguatan positif, khususnya perhatian guru. Analis perilaku terapan menunjukkan bahwa hal ini dapat terjadi bahkan ketika guru memberikan perhatian kepada perilaku yang tidak pantas dengan mengkritik, mengancam, atau menegur siswa. Jika Anda menjadi sadar bahwa Anda memberikan terlalu banyak perhatian kepada perilaku siswa yang tidak pantas, abaikanlah perilaku tersebut dan berikan perhatian kepada perilaku siswa yang pantas. Selalu kombinasikan penarikan perhatian dari perilaku yang tidak pantas dengan pemberian perhatian kepada perilaku yang pantas. Misalnya, ketika seorang siswa berhenti memonopoli pembicaraan dalam satu kelompok diskusi setelah Anda menarik perhatian Anda, berikanlah pujian untuk perilaku yang membaik dari siswa tersebut.
3)      Hilangkan stimulus yang diinginkan
                        Ketika Anda telah mencoba dua pilihan yang pertama, dan keduanya tidak berhasil, maka pilihan yang ketiga adalah menghilangkan stimulus yang diinginkan dari siswa. Dua strategi untuk mencapai hal ini adalah “time-out” dan “biaya respons (cost response).”
a.       Time-out
Strategi yang paling luas digunakan para guru untuk menghilangkan stimulus yang diinginkan adalah time-out. Dengan kata lain, membuat siswa berhenti melakukan perilaku yang tidak diinginkan dengan menghentikan penguatan positif terhadap seseorang untuk sementara.
b.      Biaya Respons
Strategi kedua untuk menghilangkan stimulus yang diinginkan melibatkan biaya respons (response cost), yang merujuk pada menjauhkan atau mengambil sebuah penguat positif dari siswa, seperti ketika siswa kehilangan hak istimewa tertentu. Sebagai contoh, setelah seorang siswa berperilaku buruk, guru dapat menghilangkan 10 menit waktu istirahat atau hak istimewa untuk menjadi pemantau kelas. Biaya respons biasanya melibatkan sejumlah jenis sanksi atau denda. Seperti halnya time-out, biaya respons harus selalu digunakan bersamaan dengan strategi-strategi untuk meningkatkan perilaku positif siswa.
4)      Hadirkan stimulus yang tidak disukai (hukuman)
                        Kebanyakan orang mengasosiasikan penghadiran stimulus yang tidak disukai (tidak menyenangkan) dengan hukuman, seperti ketika guru membentak siswa atau orang tua memukul anak.
                        Jenis stimulus yang tidak disukai dan paling umum digunakan guru adalah teguran verbal. Tindakan ini lebih efektif digunakan ketika guru berada dekat siswa dibandingkan saat berada diseberang ruangan dan ketika digunakan bersamaan dengan teguran nonverbal seperti kerutan dahi atau kontak mata (Van Houten, dkk, 1982). Teguran lebih efektif jika diberikan segera setelah perilaku yang tidak diinginkan terjadi dan ketika berupa teguran pendek dan langsung.
4.      Mengevaluasi Pengondisian Operan dan Analisis Ilmu Perilaku Terapan
            Pengondisian operand  analisis ilmu perilaku terapan telah memberikan kontribusi pada praktik pengajaran (Kazdin, 2001; Martin & Pear, 2007); Purdy, dkk, 2001). Memperkuat dan menghukum konsekuensi merupakan bagian dari hidup guru dan siswa. Guru memberikan nilai, memuji dan menegur, tersenyum, serta mengerutkan dahi. Mempelajari mengenai  bagaimana konsekuensi-konsekuensi tersebut memengaruhi perilaku siswa akan meningkatkan kapabilitas Anda sebagai seorang guru. Jika digunakan secara efektif, teknik-teknik ilmu perilaku dapat membantu Anda mengatur kelas. Memperkuat perilaku-perilaku tertentu dapat memperbaiki tingkah beberapa siswa dan digunakan bersamaan dengan skors sementara dapat meningkatkan perilaku yang diinginkan dalam beberapa siswa yang tidak dapat diperbaiki (Charles, 2005; Kauffman, dkk, 2005). 

D.    PENDEKATAN KOGNITIF SOSIAL TERHADAP PEMBELAJARAN
1.      Teori Kognitif Sosial Bandura
            Teori kognitif sosial (social cognitive theory) menyatakan bahwa factor-faktor sosial dan kognitif, serta perilaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Factor-faktor kognitif meliputi harapan siswa untuk berhasil; factor-faktor sosial juga meliputi pengamatan siswa terhadap perilaku pencapaian orang tua mereka. Teori kognitif sosial adalah acuan yang paling penting dari penerapan kelas (Choi, 2005; Petosa, dkk, 2005).
            Albert Bandura (1986, 1997, 2001, 2005, 2006) adalah arsitek utama dari teori kognitif sosial. Ia mengatakan bahwa ketika siswa belajar, mereka secara kognitif dapat mewakili atau mengubah pengalaman meraka.
            Bandura mengembangkan sebuah model determinisme timbale-balik yang terbiri atas tiga factor utama: perilaku, lingkungan dan orang / kognitif. Factor-faktor ini dapat berinteraksi untuk memengaruhi pembelajaran. Factor-faktor lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan, factor orang (kognitif) memengaruhi perilaku dan seterusnya.
            Pertimbangkanlah bagaimana model Bandura dapat berguna pada kasus perilaku pencapaian seorang siswa sekolah menengah atas yang akan kita sebut Sondra:
·         Kognisi memengaruhi perilaku. Sondra mengembangkan strategi kognitif untuk berpikir secara lebih dalam dan logis mengenai cara memcahkan masalah. Strategi kognitif tersebut meningkatkan perilaku pencapaiannya.
·         Perilaku memengaruhi kognisi. (Perilaku) belajar Sondra telah membuatnya meraih nilai-nilai yang baik, sehingga perilaku tersebut akan menghasilakan ekspetasi-ekspetasi positif mengenai kemampuannya dan memberinya kepercayaan diri (kognisi).
·         Lingkungan memengaruhi perilaku. Akhir-akhir ini, sekolah tempat Sondra belajar mengembangkan sebuah program percobaan keterampilan belajar untuk membantu siswa belajar cara membuat catatan, mengelola waktu mereka, dan mengerjakan ujian secara lebih efektif. Program keterampilan belajar tersebut meningkatkan perilaku pencapaian Sondra.
·         Perilaku memengaruhi lingkungan. Program keterampilan belajar tersebut berhasil meningkatkan perilaku pencapaian dari banyak siswa dalam kelas Sondra. Perilaku pencapaian yang meningkat dari siswa mendorong sekolah untuk mengembangkan program tersebut sehingga semua siswa di sekolah menengah atas tersebut berpartisipasi di dalamnya.
·         Kognisi memengaruhi lingkungan. Ekspetasi awal dan perencanaan kepala sekolah dan guru di sekolah tersebut membuat program keterampilan belajar dirasa mungkin dilaksanakan.
·         Lingkungan memengaruhi kognisi. Sekolah tersebut membentuk sebuah pusat literature yang dapat dikunjungi siswa dan orang tua untuk mendapatkan buku dan materi untuk meningkatkan keterampilan belajar. Pusat literature tersebut juga membuta bimbingan keterampilan belajar tersedia bagi siswa. Sondra dan orang tuanya memanfaatkan literature dan bimbingan tersebut. Literature dan layanan ini meningkatkan keterampilan pemikiran Sondra.
                        Dalam model pembelajar Bandura, factor orang / kognitif memainkan peran penting. Factor orang / kognitif ditekankan Bandura (1997, 2004, 2005, 2006) dalam tahun-tahun terakhir adalah efikasi diri (self-efficacy), keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan menciptakan hasil yang positif. Bandura mengatakan bahwa efikasi diri mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku. Sebagai contoh, seorang siswa yang mempunyai efikasi diri rendah kemungkinan tidak akan mencoba belajar untuk ujian karena ia tidak percaya bahwa hal itu akan membawa kebaikan untuknya.
2.      Pembelajaran Observasional
            Pembelajaran observasional (observational learning) adalah pembelajaran yang meliputi perolehan keterampilan, strategi, dan keyakinan dengan cara mengamati orang lain. Pembelajaran observasional melibatkan imitasi, tetapi tidak terbatas pada iti saja. Apa yang dipelajari biasanya bukan merupakan tiruan yang persis sama dari apa yang dicontohkan, tetapi lebih merupakan sebuah bentuk umum atau strategi yang sering kali diterapkan oleh pengamat dalam cara-cara kreatif. Kapasitas untuk mempelajari pola-pola perilaku dengan observasi meniadakan pembelajaran dengan cara coba-coba (trial-and-error) yang memakan waktu lama. Dalam banyak contoh, pembelajaran observasional membutuhkan waktu lebih sedikit dibandingkan pengondisian operan.
                        Studi Klasik Boneka Bobo Sebuah eksperimen klasik Bandura (1965) mengilustrasikan bagaimana pembelajaran observasional dapat terjadi meskipun ketika seorang siswa melihat model yang tidak diperkuat atau hukuman. Eksperimen tersebut juga mengilustrasikan perbedaan antara pembelajaran dan pelaksanaan.
                        Anak-anak TK dipilih secara acak dengan jumlah yang sama dan ditetapkan untuk menonton salah satu dari tiga film di mana seseorang (mode) memukuli sebuah mainan plastik berukuran orang dewasa yang dinamakan boneka bobo. Dalam film pertama, aggressor diberikan penghargaan dengan permen, minuman ringan, dan pujian untuk perilaku agresif. Dalam film kedua, agresor dikritik dan dipukul untuk perilaku agresif. Dan di film ketiga, tidak ada konsekuensi untuk perilaku agresif tersebut.
                        Kemudian, setiap anak ditinggalkan sendiri di dalam ruangan yang berisi mainan, termasuk sebuah boneka Bobo. Perilaku anak tersebut diamati melalui sebuah cermin satu arah. Anak-anak yang menonton film di mana perilaku aggressor diperkuat (film pertama) atau tidak dihukum menirukan perilaku aggressor lebih banyak dibandingkan anak-anak yang menonton agresor mendapatkan hukuman. Seperti yang dapat Anda duga, anak laki-laki lebih agresif dibandingkan anak perempuan. Akan tetapi, maksud penting dari studi ini adalah bahwa pembelajaran observasional terjadi sama ekstensifnya pada saat perilaku agresif yang dimodelkan tidak diperkuat dan saat diperkuat.
                        Hal penting kedua dalam studi ini memfokuskan pada perbedaan antara pembelajaran dan pelaksanaan. Hanya karena siswa tidak melaksanakan sebuah respons, tidak berarti merasa tidak mempelajarinya. Dalam studi Bandura, ketika anak-anak biberi suatu imbalan (stiker atau jus buah) untuk menirukan model tersebut, perbedaan dalam perilaku imitatif anak-anak dalam ketiga kondisi menjadi hilang. Bandura percaya bahwa ketika seorang anak mengamati perilaku, tetapi tidak membuat respons yang dapat diamati, anak tersebut tetap mendapatkan respons yang dimodelkan dalam bentuk kognitif.
                        Model Pembelajaran Observasional Kontemporer Bandura Sejak awal masa eksperimennya, Bandura (1986) telah berfokus pada penyelidikan proses-proses tertentu yang terlibat dalam pembelajaran observasional. Proses ini meliputi perhatian, penyimpanan, produksi dan motivasi:
·         Perhatian. Sebelum siswa dapat menirukan tindakan seorang model, mereka harus mengikuti apa yang dilakukan atau dikatakan oleh model tersebut. Perhatian model tersebut dipengaruhi oleh sekumpulan besar karakteristik. Sebagai contoh, orang yang hangat, kuat dan tidak biasa lebih menarik perhatian dibandingkan orang yang dingin, lemah dan biasa. Siswa lebih berkemungkinan untuk menaruh perhatian kepada model berstatus tinggi dibandingkan kepada model berstatus rendah. Dalam kebanyakan kasus, guru adalah modl berstatus tinggi bagi siswa.
·         Memori. Untuk menirukan tindakan seorang model, siswa harus mengodekan informasi tersebut dan menyimpannya dalam memori sehingga mereka medapatkannya. Sebuah deskripsi verbal sederhana atau sebuah cerita yang hidup dari apa yang dilakukan model membantu memori siswa. Sabagai contoh, guru dapat berkata, “Saya menunjukan cara yang benar untuk melakukan ini. Kamu harus melakukan langkah ini terlebih dahulu, langkah ini yang kedua, dan langkah ini yang ketiga,” ketika ia mencontohkan cara untuk memecahkan sebuah soal metematika. Sebuah video dengan karakter bewarna-warni yang mendemonstrasikan pentingnya memikirkan perasaan siswa lain dapat diingat lebih baik dibandingkan jika guru hanya memberi tahu siswa untuk melakukannya. Karakter warna-warni ini merupakan inti popularitas dari Sesame Street di mata anak-anak. Memori siswa akan meningkat ketika guru memberikan demonstrasi yang hidup, logis, dan jelas.
·         Produksi. Anak-anak dapat mengikuti seorang model dan mengodekan dalam memori apa yang telah mereka lihat. Tetapi, karena batasan-batasan dalam kemampuan motorik, mereka tidak mampu menirukan perilaku model tersebut. Seorang anak berusia 13 tahun dapat menonton pemain basket Lebron James dan pemain golf Michelle Wie melakukan keterampilan atletik mereka yang sempurna, atau mengamati seorang pianis atau artis yang terkenal, tetapi tidak mampu menirukan tindakan motorik mereka. Pengajaran, bimbingan dan latihan dapat membantu anak-anak meningkatkan pelaksanaan motorik mereka.
·         Motivasi. Sering kali anak-anak mengikuti apa yang dikatakan atau dilakukan seornag model, menyimpan informasinya dalam meori, dan memproses keterampilan-keterampilan motorik untuk melakukan tindakan tersebut, tetapi tidak termotivasi untuk melaksanakan perilaku yang dimodelkan. Ini ditunjukan dalam studi klasik boneka Bobo dari Bandura ketika anak-anak yang melihat model dihukum tidak menirukan tindakan agresif model tersebut. Akan tetapi, ketika mereka kemudian diberikan penguat atau insentif (stiker atau jus buah), mereka menirukan perilaku model.
                        Bandura berpendapat bahwa penguatan tidak selalu dibutuhkan agar terjadi pembelajaran observasional. Akan tetapi, jika anak tidak menirukan perilaku yang diinginkan, ada empat jenis penguatan yang dapat membantu: (1) berikan penghargaan kepada model; (2) berikan penghargaan kepada anak; (3) instruksikan anak untuk membuat pernyataan-pernyataan yang memperkuat diri seperti “Bagus, saya dapat melakukannya!” atau “Baik, saya telah melaukannya dengan baik untuk mengerjakan sebagian besar hal ini dengan benar; sekarang jika saya terus mencoba, saya akan menyelesaikan sisanya”; atau (4) perlihatkan bagaimana perilaku tersebut membawa hasil yang memperkuat.
3.      Pendekatan Perilaku Kognitif dan Pengaturan Diri
            Pendekatan Perilaku Kognitif Dalam pendekatan perilaku kognitif (cognitive behavior approach), penekannya adalah untuk membuat siswa memantau, mengelola dan mengatur perilaku mereka sendiri daripada membiarkannya dikendalikan oleh factor-faktor eksternal.
            Metode instruksi diri (self-instructional method) adalah teknik perilaku kognitif yang diarahkan untuk mengajar individu untuk memodifikasi perilaku mereka sendiri. Metode instruksi diri membantu orang mengubah apa yang mereka katakana kepada diri mereka sendiri.
            Berikut ini ada beberapa strategi berbicara sendiri yang dapat digunakan siswa dan guru untuk mengatasi situasi-situasi penuh tekanan secara lebih efektif (Meichenbaum, Turk, & Burnstein, 1975):
·         Bersiaplah untuk kegelisahan atau stres.
“Apakah yang harus aku lakukan?”
“Aku akan membuat rencana untuk menanganinya.”
“Aku akan memikirkan apa yang harus kulakukan.”
“Aku tidak akan khawatir. Khawatir tidak membantu apa-apa.”
“Aku punya banyak strategi berbeda yang dapat kugunakan.”
·         Hadapi dan tangani kegelisahan dan stres.
“Aku mampu memenuhi tantangan.”
“Aku akan mengambil selangkah demi selangkah.”
“Aku dapat menanganinya. Aku harus rileks, bernapas dalam-dalam, dan menggunakan salah satu strategi.”
“Aku tidak akan berpikir mengenai stress saya. Aku akan berpikir mengenai apa yang harus aku lakukan.”
·         Tangani perasaan-perasaan pada saat-saat kritis.
“Apakah yang harus kulakukan?”
“Aku tahu kegelisahanku dapat meningkat. Aku hanya harus menjaga agar diri aku tetap terkendali.”
“Saat kegelisahan datang, Aku akan berhenti sejenak dan tetap berfokus pada apa yang harus aku lakukan.”
·         Gunakan pernyataan diri yang kuat.
“Bagus, aku dapat melakukannya.”
“Aku menanganunya dengan baik.”
“Aku tahu aku dapat melakukannya.”
“Tunggu hingga saya memberi tahu orang lain bagaimana saya melakukannya!”
                        Pembelajaran dengan Pengaturan Diri Pembelajaran dengan pengaturan diri (self-regulatory learning) terdiri atas pembangkitan diri dan pemantauan diri atas pikiran, perasaan, dan perilaku dengan tujuan untuk mencapai suatu sasaran. Sasaran-sasaran ini dapat berupa sasaran akademik (meningkatkan pemahaman saat membaca, menjadi penulis yang lebih terorganisasi, belajar bagaimana untuk  melakukan  pengalihan, mengajaukan pertanyaan yang relevan ) atau sasaran sosioemosional (mengendalikan kemarahan, bergaul dengan lebih baik dengan teman sebaya). Karakteristik-karakteristik pelajar yang melakukan pengaturan diri:
·         Menetapkan sasaran untuk memperluas pengetahuan mereka dan mempertahankan motivasi mereka,
·         Sadar akan emosi mereka dan mempunyai strategi untuk mengelola emosi mereka,
·         Secara berkala memantau kemajuan mereka menuju suatu sasaran,
·         Menyempurnakan atau merivisi strategi mereka berdasarkan kemajuan yang mereka buat, dan
·         Mengevaluasi rintangan-rintangan yang mungkin timbul dan melakukan adaptasi-adaptasi yang diperlukan.
                        Barry Zimmerman, Sebastian Bonner, dan Robert Kovach (1996) mengembangkan sebuah model untuk mengubah siswa dengan pengaturan diri rendah menjadi siswa yang melakukan strategi beberapa langkah ini:
1)      Evaluasi dan pemantauan diri,
2)      Penetapan tujuan dan perencanaan strategis,
3)      Melaksanakan rencana dan pemantauan, serta
4)      Pemantauan hasil dan penyempurnaan strategi.

                        Zimmerman dan rekan-rekannya mendeskripsikan seorang siswa kelas tujuh yang lemah dalam pelajaran sejarah dan menerapkan model pengaturan diri mereka terhadap situasi siswa tersebut. Pada langkah ke-1, ia melakukan evaluasi diri terhadap studi dan mempersiapkan ujiannya dengan membuat catatan terperinci mengenainya. Guru memberinya beberapa pedoman untuk membuat catatan tersebut. Setelah beberapa minggu, siswa tersebut menyerahkan catatan tersebut dan melacak hasil ujiannya yang buruk pada rendahnya pemahaman atas meteri bacaan yang sulit.
                        Pada langkah ke-2, siswa tersebut menetapkan tujuan. Tujuan dalam kasus ini adalah untuk memperbaiki pemahaman dalam membaca dan merencanakan cara untuk mencapai sasaran tersebut. Guru membantunya dalam membagi-bagi sasaran tersebut menjadi beberapa komponen, seperti menemukan ide pokok dan menetapkan sasaran spesifik untuk memahami serangkaian paragraf daalm buku teksnya. Guru juga memberi tahu siswa mengenai strategi, seperti terlebih dahulu berfokus pada kalimat pertama dari setiap paragraf kemudian menelaah yang lainnya, sebagai cara untuk mengidentifikasi ide pokok. Dukungan lain yang dapat ditawrkan oleh guru adalah orang dewasa atau teman sebaya yang membimbing dalam pemahaman membaca jika tersedia.
                        Pada langkah ke-3, siswa melaksanakan rencana tersebut dan mulai memantau kemajuannya. Pada awalnya, ia mungkin membutuhkan bantuan dari guru atau tutor dalam mengidentifikasi ide pokok dalam bacaan. Umpan balik ini dapat membantunya memantau pemahaman membacanya secara lebih efektif oleh dirinya sendiri.
                        Pada langkah ke-4, siswa memantau kemajuannya dalam hal pemahaman membaca dengan mengevaluasi apakah hal tersebut telah memiliki dampak pada hasil pembelajarannya. Hal yang paling penting, apakah kemajuannya dalam pemahaman membaca mengakibatkan hasil yang lebih baik pada ujian sejarah?







4.      Mengevaluasi Pendekatan Kognitif Sosial
            Pendekatan sosial kognitif telah memberi kontribusi penting untuk mendidik anak. Penekanan dari pendekatan perilaku kognitif pada instruksi diri, berbicara pada diri sendiri, dan pembelajaran dengan pengaturan diri memberikan pergeseran penting dari pembelajaran yang dikendalikan oleh orang lain menjadi tanggung jawab untuk pembelajaran diri sendiri (Watson & Tharp, 2007). Strategi-strategi yang dilaksanakan sendiri ini dapat secara signifikan memajukan pembelajaran siswa.

 


           





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa  pendekatan ilmu perilaku dan kognitif sosial sangat efektif diimplementasikan didalam pembelajaran, baik dengan memberikan penguatan (penghargaan) kepada siswa-siswa yang mempunyai kemampuan yang lebih, atau pun memberikan hukuman kepada siswa-siswa yang melakukan pelanggaran.
B.     Saran
            Melalui makalah ini kami memberikan saran kepada para guru maupun calon guru agar dapat menerapkan pendekatan ilmu perilaku dan kognitif sosial dalam proses pembelajaran di sekolah.
                     

                     



                       

















                                                                                                                                



DAFTAR PUSTAKA

Santrock, JohnW. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.

1 komentar:

  1. haii kaa.. makasih banget sangat membantu kebetulan saya nyari dari buku santrock juga ^^ *btw saya juga dari undana ... salken yaa.. sukses ngebloggernya ^^

    BalasHapus